Minggu, 12 Oktober 2008

cerpen

Galau
By Amatovani

Kerinduaan akan kampung halaman terasa membuncah. Tak terasa sudah, liburan lebaran semakin dekat. Angan-angan melayang jauh, melihat hamparan sawah yang kehijauan. Kalau pagi bunyi kokok ayam sahut menyahut menandakan matahari sudah mau keluar dari peraduan. Masih teriang ditelinga bagaimana kicauan bunyi burung merdunya – cit cit cit. seoalah alam sedang menari dengan alunan irama yang merdu dan penuh kedamaian. Kedamaian yang sangat susah ditemui dikota metropolitan yang penuh persaingan - sikut kanan, sikut kiri.

Sementara teman-teman dikantorku sibuk mengatur jadwal kepulangan mereka ke kampung halaman mereka masing-masing. Tak sedikit yang akhirnya membayar tiket mahal, karena masih bergerilyanya calo dinegri ini. Maklum dinegeriku masih saja ditemui oknum-oknum yang mempermainkan harga tiket diterminal-terminal keberangkatan.
***
Siang malam aku sibuk dengan rutinitas harian.terkadang sampai lupa diri. Semakin hari umurpun bertambah. Tahun berganti tahun, bulan berganti bulan, namun diriku masih saja sibuk dengan materi yang dikejar. Pagi sekali aku sudah berangkat ke kantor. Malam baru pulang. Begitu seterusnya yang aku lakukan. Terkadang minggu aku habiskan buat kerja. Bahkan salah seorang sahabatku sambil bergurau pernah bilang, ‘kamu kapan dapat pacar, kalau kamu hanya mikirin kerja…kerja…kerja.

Memang sempat aku berpikiran demikian. Cuma bagiku kalau memang sudah tiba masanya, maka tidak akan lama juga toh. Apalagi kalau dipikir-pikir pacaran itu juga toh tidak menjamin bakalan jadi benar. Banyak cost dan waktu yang terbuang. Kalau mau ketemu harus punya duit buat traktir makan atau nonton di bioskoplah. Kalau iya benar jodoh, kalau ga hanya buang-buang energi dan bakalan bikin masalah baru. Mendingan dijalani aja ibarat air mengalir. Demikian batinku membela waktu itu.
.
Tak terasa sudah empat tahun aku bekerja di kota metropolitan ini.. Secara materi semua sudah aku raih. Handphone sudah tipe terbaru. Aku sudah punya laptop. Dan sudah ada investasi kecil-kecilan di reksanadana. Tiap bulan tak lupa aku bersedekah dan mengirim ke orangtua di kampung. Alhamdulilah secara materi aku diberi sama yang diatas rezki yang lebih dari cukup. Cuma rumah belum sempat aku terpikir untuk membelinya.. biarlah suatu saat nanti ketika aku sudah berkeluarga, kami merencanakan itu nanti semua berdua. Demikian harapan batinku.

Menjelang datang libur lebaran, kegalauan dihati tak bisa diendapkan. Seperti kepulangan tahun-tahun kemarin, semua keluarga menanyakan siapakah gerangan calon aku. Waktu itu aku masih bisa berkelit dari pertanyaan itu semua. Aku cukup bilang, ‘ aku masih muda dan masih menata karir dulu.’ Orang tua dan sanak famili dikampungpun maklum akan alasanku. Tapi sekarang rasanya alasan itu sulit aku kemukan apalagi aku sudah mendekati kepala tiga. Dari segi materi sudah lebih dari cukup. Bahkan ada satu keluargaku menimpali tak kala aku bilang, ‘aku belum punya uang om buat kawin.’

“Nikah itu tidak perlu uang banyak, yang penting keikhlasan dari pasangan masing-masing dan niatnya karena apa?. Kalau buat materi yang sampai tuapun ga bakalan kawin-kawin. Tapi kalau niatnya karena Allah SWT, sekarangpun bisa kawin dan Allah pasti memudahkan jalan kita sepanajang niat kita baik. Om dulu kamu pikir punya uang banyak ketika menikah. Salah. Boleh dibilang Om tidak punya uang banyak. Tapi alhamdulillah setelah menikah kehidupan om dengan tantemu boleh dibilang lebih dari cukup. Dan alhamdulillah pula tantemu juga mau ikhlas dan ridha hidup bersama om. Ia tidak pernah mengeluh akan kondisi om. Kalau om ceritain semua ke kamu mulai dari kehidupan om bersama tantemu dari nol – mungkin kamu tidak percaya. Tapi itulah Allah itu menempati janjinya, kehidupan om bersama tantemu selalu dicukupkan olehNya. Karena memang niat awal kami menikah karena mencari ridha Allah. Kalau kami hanya mendahulukan materi, mungkin kami tidak bakalan menikah – atau kalau menikahpun sungguh kehidupan yang penuh dengan hedonisme semata.” Demikian kuliah yang disampaikan omku ketika terakhir aku pulang ke kampung.

Dalam lamunanku, tiba-tiba handphoneku berdering. Panggilan dari rumah. Aku menghela napas panjang. Tombol terima panggilan kupencet, seketika itu juga handphone sudah berada di telingaku sebelah kanan. Suara yang sangat khas sekali. Ya suara ibu yang sangat rindu akan anaknya.. “Nak, kapan kamu pulang? Kamu sudah libur khan? Kalau sudah libur pulanglah Nak. Kami di kampung rindukan kamu.”

Aku tak sangup membantah kata-kata ibuku lagi. “Iya bu, InsyaAllah sebelum lebaran aku pulang.” Gundah gulana semua bercampur dengan rasa rindu sama keluarga di kampung. Kutatap langit-langit dikamar kosku. Air mata tak kuasa jatuh membasahi pipiku yang sudah mulai menua. Rencana untuk tidak mudik lebaran terpaksa aku batalkan. Aku tahu apa yang akan aku hadapi dikampung kelak.

Aku juga teringat kisah yang sama juga menimpa teman sejawatku. Dia sebenarnya merasa galau pulang ke kampung halamannya. Dia rindu. Bahkan sebenarnya sangat rindu pulang ke kampung halaman. Cuman ada satu soal, dimana iapun merasa galau menghadapi pertanyaan keluarga di kampung. “Kapan menikah? Sudah punya calon? Maukah menikah dengan anak si anu,?”

Pertanyaan demi pertanyaan yang membuatnya tertekan. Ada isyarat ia tak lakulah atau apalah pameo yang dilekatkan padanya. Dia dianggap tidak mampu dan harus dijodohkan. Sehingganya dia harus menerima pilihan atau dia akan didesak terus untuk soal itu. Hatinya mendua antara kerinduan akan kampung halaman dan rentetan pertanyaan maukah kawin dengan anak si anu atau anak si fulan. Dia baik lho, Dia cantik. Dia tampan. Sudah bekerja. Begitulah promosi-promosi yang seolah menyudutkan dirinya.
***

Kata-kata omku dua tahun yang lalu masih teriang ditelingaku. Tahun kemarin aku tidak mudik ke kampung dengan alasan banyak perkerjaan dan tidak bisa ditinggalkan. Padahal, itu Cuma alasan saja untuk menghindar dari pertanyaan orang-orang dikampung. Yah pertanyaan yang sudah bisa ditebak buat seumuran dengan aku. :”sudah punya calon? Kapan menikah? Atau mau ga menikah sama si anu? Yang rentetan pertanyaan bakalan bergelanyut di pikiranku untuk menjawabnya. Pertanyaan yang hampir sama dari rumah satu ke rumah yang satu lagi di kampungku.
Cuma kalau aku sampai bilang belum punya calon, mungkin orangtua dan sanak famili sudah banyak yang mencarikan jodoh buat diriku. Bahkan ketika, tahun kemarin aku tidak jadi mudik, orang tua sudah menanyai calonku, kebetulan beliau ada kenalan dan ia memiliki anak gadis dan mau menjodohkan dengan diriku.

Antara dua buah hati yang terbelah menolak atau menerima. Menerima seolah aku terbentuk image seperti dizaman siti nurbaya. Menolak seolah aku begitu sombong dan tidak mau mensyukuri..Salah kah diriku untuk memilih calon yang sesuai dengan hati ini? Demikianlah, sehingganya aku tahun kemarin bermenung didalam kamar kontrakan berkukuran empat kali empat meter. Tak kala malam takbiran datang, kumadang tahmid, tahlil talu bertalu di seluruh pelosok negri ini. Hatiku rindu akan kampung halaman. Sementara hatiku juga galau ditanyai calonku dan kapan kawin. Dua perasaan bak pedang bermata dua.
***
Jakarta, Ramadhan 1429 H

Tidak ada komentar: