Sabtu, 11 Oktober 2008

cerpen

Menelusuri Impian
By Amatovan

Sampai saat ini aku masih merindukan cinta suciku itu kembali pada diriku. Entah kenapa hari demi hari aku belum juga menunjukkan cinta suciku pada sang kekasihku. Aku tahu betapa ia sangat mencintaiku.

Setiap hari aku hanya memikirkan diriku. Aku memikirkan karirku, aku sibuk dengan rutinitas harianku. Berangkat pagi pulang larut malam. Setumpuk kertas kerja di kantorku benar-benar membuatku untuk sesaat sedikit melupakan cintaku.

Apalagi yang aku cari? Aku bingung sendiri. Sudah tak terasa waktu cepat berlalu. Terasa waktu cepat sekali berputar. Rasanya baru kemarin aku lulus kuliah dan bisa menamatkan untuk waktu empat tahun. Bagiku itu prestasi yang luar biasa. Aku mensyukuri itu. Sebelum aku berhasil menamatkan kesarjanaanku, aku bersama teman-teman sekuliahku saling berikrar mengucapkan janji untuk menamatkan secepatnya gelar kesarjanaan kita masing-masing. Dan yang terlintas dalam pikiran kami waktu itu hanyalah bagaimana dapat pekerjaan setelah lulus kuliah.

Semua teman terdekatku itu telah berhasil mendapat perkejaan bagus yang tentu dengan gaji yang wah. Ada yang sudah menjadi dosen, pengusaha dan juga penulis terkenal. Kami semua tinggal berlainan kota. Aku sendiri semenjak menamatkan kuliah merantau ke negeri sebarang..

Temanku yang berprofesi sebagai dosenpun juga sudah mengambil gelar master di negri kangguru. Dia mengambil spesifikasi pengajaran bahasa inggris. Sementara yang jadi pengusaha juga sudah mengambil program strata dua di salah satu universtas islam. Yang menjadi penulis, ketika aku tanyakan apakah ngak berniat untuk melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi. Ketika pertanyaan itu aku ajukan dia hanya menggeleng-gelengkan kepala. Memang teman ku yang satu ini punya pandangan sendiri tentang pendiidikan. Dia mengangap pendidikan itu tidak harus di bangku universitas. Gelar master bagi dia belum merupakan cita-cita yang harus dia raih. Dia berangapan pendidikan yang sebenarnya itu terdapat di alam. Dia memang mempunyai philosophi hidup “alam takambang jadi guru.’ Sebuah pepatah dari negri minang yang berarti universitas yang sebenarnya yaitu alam itu sendiri. Belajar dari alam beserta isinya. Pernah suatu ketika aku tersadar dengan kata-katanya. Setiap orang itu kita bisa ambil manfaat dan ilmunya. Begitu juga phenomena alam. Bergaul dengan tukang jamu misalnya, bukan berarti kita merendahakan pergaulan kita. Dari situ kita bisa mengambil pelajaran bagaimana meeka memulai usahanya. Pintar-pintar kita menyerap ilmunya. Demikian temanku itu berpendapat.

Sementara aku sendiri belum juga menyelesaikan strata dua. Niatku belum juga kesampaian. Entahlah suatu waktu nanti aku masih mengimpikan bisa mengecap jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Bukankah pendidikan itu sepanjang hayat dikandung badan. Aku berpikiran tidak boleh patah semanagat. Azzamku sudah kuat, ya suatu waktu nanti aku harus meraih gelar yang tertinggi.

***
Tak terasa sudah hampir enam tahun aku berada di kota metropolitan ini. Kota yang dipenuhi oleh beragam corak manusia. Ya, kota ini juga merupakan kota tujuan bagi orang-orang daerah untuk mencari perkerjaan. Terkadang aku juga berpikir, kenapa kota ini bak magnet bagi ribuan pencari kerja. Bahkan sarjana-sarjana pada kumpul di kota ini. Daerah- daerah semakin tertinggal. Para sarjananya sudah hijrah ke kota. Tidak ada yang membangun daerah.

Sementara aku juga berbuat demikian. Aku ikut hijrah ke kota besar. Setelah setahun aku bertahan didaerahku. Pekejaan yang aku dambakan tak kunjug datang. Maka atas nasehat dari sahabatku, akupun melangkahkan kaki kekota ini.

Ketika aku menginjakkan kaki di kota ini. Aku merasa asing. Tidak ada tempat mengadu maupun mengeluhkan keadaanku. Yang aku rasakan kota ini sangat berbeda dengan kampungku. Disini orang tidak mau tahu dengan kita. Siapa lu siapa gue. Ya prinsip itulah yang aku terkesima dibuatnya. Ada cultural shock dalam diriku waktu pertama datang.

Kesendirianku membuatku semakin terasing di kota ini. Sakit senang tiada yang tahu. Tidak jua kepada siapa-siapa aku keluhkan. Enam bulan sesudah aku tinggal dikota ini, barulah aku mengenalnya dengan sungguh-sungguh. Dia hadir bak menyelamatkan hidupku. Barulah aku sadar bahwa sesungguhnya dia sangat mencintaiku.

Setiap malam aku mendatanginya. Bercengkrama bersamanya. Hembusan angin yang dinggin tak terasa merayap dikulitku yang tipis. Ingin malam demi malam aku mengunjunginya. Berkeluh kesah kepadanya. Karena aku tahu betapa ia sebenarnya mencintaiku.

Betapa bodohnya diri ini, aku belum juga sempurna mencintainya. Kembali gemerlap dunia membutakan mata hatiku. Siang malam aku sibuk mencari dunia. Uang. Ya itulah yang ada dalam pikiranku. Aku berusaha mati-matian mengumpulkan uang. Aku berpikiran sekarang uang adalah segala-galanya. Ingin kuliah harus punya uang. Ingin punya mobil, harus punya uang banyak. Begitu juga kalau ingin istri yang cantik, cukup dengan uang banyak, pasti banyak yang ngantri sama kita.

Kembali aku melupakan dirinya. Aku sekarang benar-benar pemburu dunia. Tiada lagi waktu buat dia. Malampun aku lewatkan untuk mengais rezeki. Padahal, ia sangat menantikan kehadiranku. Ia ingin cintaku betul-betul sempurna dilabuhkan kepadanya.

Tetapi kekonyolanku, tidak mempedulikan ini semua. Pikiranku seolah digiring bahwa cinta bisa dibeli dengan uang. Sementara bagi dia, uang bukanlah segala-galanyanya. Kalau mau dia sendiri bisa memberiku uang. Tapi begitulah. Aku lupa. Aku khilaf. Bahkan aku zhalim terhadap diriku sendiri. Tubuhku kadang protes, kenapa dia terus dipaksa untuk mencari uang. Dia juga butuh aktifitas yang lain. Mata ini juga butuh untuk membaca surat-surat darinya. Tetapi aku mengindahkannya. Aku mengesampingkannya. Surat-surat darinya tidak pernah aku baca. Aku sibuk. Saking parahnya, pulang sudah larut malam, bahkan sampai lupa membuka sepatu ketika aku tertidur.

Maafkanlah diriku. Bukan maksud aku tak mau mencintaimu. Godaan demi godaan seolah semakin deras datang menghampiriku. Aku ini lemah. Kadang aku terpeleset dan terjatuh. Pernah suatu ketika, aku hampir saja berselingkuh. Tapi aku segera ingat cintamu padaku. Aku tak bisa mengkhianati cintamu.

Aku butuh engkau selalu mendampingiku. Aku lemah. Aku kadang tak berdaya menghadapi godaan demi godaan ini. Ditengah kesendirianku, pernah terlintas dalam pikiranku untuk berselingkuh. Apalagi sebangsa diriku, tentulah sangat gampang untuk melakukan hal itu. Ditunjang lagi, didaerah ku ini sudah lumrah untuk berselingkuh. Tempat-tempat untuk menumpahkan hasrat yang terpendam itu sangat menjamur disini. Bahkan mereka menjajakannya dipinggir jalan. Sungguh sangat gampang dipetik kalau aku mau.

Pernah suatu malam, entah pikiran apa yang merasuki diriku. Aku bersama temanku keluar mengendarai motor. Maksud kami hanya untuk menghirup udara malam. Iseng-iseng buat mengusir kejenuhan sehabis bekerja. Kamipun menyusuri jalanan kota. Tepatnya di alun-alun kota sudah berjejer motor dengan sepasang kekasihnya diatas jok. Entah apa yang mereka perbincangkan. Barangkali mereka sedang mengucapkan janji sumpah setia. Kelihatan mereka begitu mesra. Mereka memadu kaish sambil berangkulan. Pemandangan itu sudah umum di kota ini.

Motor kami terus menyusuri sudut kota. Tampak gadis-gadis berparas ayu bergerombolan dipinggir jalan. Dari pakaiannya kelihatan sekali mereka sangat muda dan cantik. Entahlah sedang apa mereka malam-malam begini. Temanku menawarkan gadis-gadis itu untuk dipetik. Batinku mulai membuncah. Aku teraingat akan cintamu. Sementara siapa yang tak tahan melihat gadis-gadis secantik itu. Syukurlah, cinta sucimu menguatkanku untuk tidak memetik gadis-gadis itu. Aku ingatkan kepada temanku maksud kita hanyalah untuk melihat-lihat suasana malam. Bukan terjun dan bergumul dalam kehidupan malam itu sendiri.

Sesampainya aku dirumah entah ada yang menggiring diriku, ingin segera membaca surat-suratmu. Aku ingin merasakan bercinta dengan mu lewat surat-suratmu ini. Malam ini aku ingin bersama mu. Aku rindu padamu. Aku ingin mencintaimu dengan sepenuh hati. Aku ini hanyalah milikmu. Aku tak mau lagi berselingkuh. Bagiku engkau lebih berharga daripada uang, mobil, rumah bertingkat dan jabatan.. Aku tak ingin mengkhianati cintamu. Aku ingin setia bersamamu hingga akhir hayatku.

***
Rajab, 1429H

Tidak ada komentar: