Minggu, 12 Oktober 2008

cerpen

AIB
BY Khairul Azmi

Dari raut wajahnya aku bisa melihat Rina sepertinya ada masalah, Cuman aku tidak berani mendekati dia apalagi menanyai masalah yang dihadapinya. Biasanya dalam kondisi begini aku biarkan dulu ia larut dengan masalah nya baru setelah agak enakan aku beranikan bertanya padannya apa gerangan yang dia hadapi. Walaupun dia berusaha menutupi tapi dari raut wajahnya aku bisa memastikan kalau ia sedang menghadapi masalah yang berat.

“Taufik, bantuin sini donk.’ Suara Tati yang lagi butuh bantuan. Buru-buru aku menuju kearah Tati yang pagi itu sibuk memisahkan barang-barang yang reject. “Kalau aku lihat ya, ini sepertinya regu malam dech, Fik. Barang banyak yang reject ini. Kalau kita paksakan kirim ini barang, nanti customer malah ga percaya lagi sama kualitas barang kita,”komentar Tati. “Terus kita harus bagaimana dunk, Ti. Apa perlu kita lapor ke manajer sekarang juga mengenai banyaknya barang yang reject,” usul taufik. “ Ya lho tahu sendiri bagaimana reaksi manajer kita khan.” “Iya sih Ti.” “Dia kalau ada apa-apa bisanya marah-marah saja. Bukannya cari solusi gitu. Aku juga jadi ga enak ntar ma teman-teman regu malam. Apalagi kebanyakan mereka semua kan cewek. Aku juga ga’ tegaan Fik kalau bikin laporan ke manajer. Kasihan sama anak-anak regu malam.” “So, ada usul lain ga,’ Taufik mulai tidak sabaran juga.

“Aku juga lagi bingung ini Fik.” “Gimana kalau kita lapor kepada kepala QC terlebih dahulu,’ usul Taufik. “ Bu Nurma… maksud kamu Bu Nurma,” selidik tati. “Iya bu Nurma, siapa tahu beliau mau membantu masalah kita. “Oke kalau begiitu kita langsung kesana aja yuk.”

Ketika memasuki ruangan Bu Nurma, kelihatan Bu Nurma sedang meneliti kualitas barang dengan cekatan. Bu nurma sudah berpuluh tahun bekerja di pabrik ini. Walau beliau uda mau masuk kepala enampuluhan, tetapi skill dan pengalaman beliau masih sangat dibutuhkan di perusahaan ini. Barangkali Bu Nurma orangnya telaten gitu, maka untuk bagian-bagian yang strategis tersebut memang pantas dipegang oleh Bu Nurma. Disamping itu Bu Nurma ditengah usia nya yang sudah ga muda lagi itu tetapi masih kelihatan sehat dan bugar. Pernah suatu kesempatan aku bercanda nanyain apa sih rahasia Bu Nurma masih kelihatan sehat dan bugar. Beliau menjawab kalau sering menjaga kondisi tubuhnya dengan olahraga dan minum ramuan tradiosional. Dan yang bikin aku kagum ama beliau yaitu cara berpikir dan bicaranya masih kelihatan brillian dan penuh semangat.

Dulu sewaktu aku sakit, Bu Nurma sedikit banyak ikut memberi semangat buat kesembuhan penyakitku. Bahkan beliau pernah mengirimkan obat-obatan atau semacam jamu-jamuan gitu buat aku. Padahal aku tidak pernah pesan. Itulah tadi Bu Nurma seorang manusia yang bagi diriku ibarat sosok kharismatik, penuh dengan keteladanan tetapi tetap merendah walau ilmu dan pengalamanya sudah diatas rata-rata karyawan dipabrik ini.


Setelah mengucapkan salam, kedua mata Bu nurma mengarah kepada kami. Seketika Bu nurma meletakkan barang yang sedang dipegang ditanganya. Beliau pun beranjak dari tempat dia meneliti barang dan menghampiri kami. “Selamat pagi Bu. Bisa kami minta waktunya sebentar Bu,” pinta kami kepada Bu Nurma. Kemudian Bu Nurma mempersilahkan kami duduk diruang beliau. “Ada apa Tati, Taufik, tumben kalian berdua keruangan saya. Apa ada masalah?” “Begini Bu Nurma, Tati membuka maksud apa kedatangan mereka menemui Bu Nurma. Setelah Tati menceritakan masalahnya barulah Bu Nurma mulai paham. “Oke, coba saya cek dulu barang tersebut,” selidik Bu Nurma. Kemudia dengan diiringi Tati dan Taufik, Bu Nurma menuju ruangan warehouse dimana barang tersebut ditempatkan. Setelah mengecek kondisi barang akhirnya Bu Nurma pun memberitahukan kepada Tati dan Taufik kalau barang tersebut tidak boleh dikirim, karena bisa merusak citra perusahaan kita. “Nanti saya akan coba bantu menjelaskan kepada manajemen mengenai barang yang reject ini. Tati, kamu coba hitung semua berapa jumlah barang yang reject”, pinta Bu Nurma kepada Tati. ‘Baik Bu, sekarang saya cek lagi”. Sementara kami sibuk mengecek barang yang reject, aku masih sempat melihat wajah Rina sudah tidak seperti tadi pagi. Kebetulan pagi itu dia lagi mengepack barang-barang di ruangan warehouse Dia sudah larut dengan pekerjaannya. Barangkali karena kesibukannya pagi tersebut dia sedikit bisa melupakan masalahnya.

“Jadi semuanya ada delapan karton bu Nur,” lapor Tati kepada bu Nur. “Oke nanti kalian tidak usah khawatir, nanti saya langsung menghadap ke manajer menjelaskan persoalan ini dan kalian kembali lagi bekerja seperti biasa.” “Iya bu’.. Kemudian Bu Nur beranjak dari pandangan kami menuju ke ruangan manajer pabrik. Kamipun kembali meneruskan sisa perkerjaan yang belum selesai

Siang itu aku sengaja makan siang dekat Tati. “Tumben kamu makan siang satu meja ama aku. Biasanya kamu makan sama si Dodi,” selidik Tati. “Iya nie, aku pingin ngobrol ma kamu. Bisanya kan habis makan siang ini”. “Mengenai apa.’ Tati mulai ga sabar mendengar gerangan apa yang ingin disampaikan Taufik. “Apa mengenai barang yang reject tadi..” “Bukan itu, bukan mengenai yang tadi.” “Trus kamu mau ngomong apa,” Tati dengan penuh keheranan. “Begini, kamu perhatiin ga tadi perubahan wajah si Rina tadi pagi pas masuk. Kalau aku lihat sih tidak seperti biasanya. Kelihatan dia lagi ada masalah berat. Cuma aku tidak tahu apa masalahnya.” “Hmm..”Tati sepertinya mulai curiga dan menggoda aku. “Jangan-jangan kamu ada perhatian ini sama Rina. Hehehe…”, seloroh Tati. ”Wah bukan begitu, kalau perhatian ya iyalah Tati, kan Rina juga sahabat aku seperti kamu juga sahabat aku. Kalau ada masalah sebisa aku, pasti aku mau bantu. Bukankah begitu artinya sahabat.’ . “Iya, tapi kok yang aku rasakan perhatian kamu ke Rina lebih deh dari sahabat. Ayo terus terang saja lah sama aku, kalau kamu sedang jatuh cinta sama Rina.” Seketika itu juga jantungku mulai berdeguk kencang, ko’ bisa-bisanya si tati ngomong to the point kayak gitu.

Kalau melihat kecantikan si Rina, siapa sih kalau tidak suka sama dia. Kalau aku lihat sih dia orangnya baik, ramah, santun habis itu cantik lagi. Apalagi yang aku senangin ama dia tuh, kalau bicara kelihatan senyuman kecil dibibirnya yang bisa mengugah hati para lelaki kepadanya. Namun buru-buru aku kendalikan emosi, kan dia sudah punya pacar, masak sih dia mau sama aku. Lagian aku juga ga enak merebut pacar orang, hibur aku.

“Nah tuh, benar kan, kamu lagi ada hati sama si Rina. Jadinya kamu ngelamun. “Kamu mikirin dia yah. Kamu sih telat, dulu kamu pas dia lagi kosong kamu ga mau, sekarang dia sudah ada cowok nya, kamu kepingin ma dia. Kamu ini gimana sih,” lanjut Tati. “Bukan begitu Tati, kan kamu tahu sendiri, aku tidak mau pacaran gitu, jadi yah bukan style aku kalau pacaran-pacaran ala abg sekarang. Dalam kamusku tidak ada istilah pacaran, yang ada hanya taaruf, jenjang untuk melangkah ke arah yang serius. Jadi taaruf itu kita saling mengenal diri pribadi masing-masing, mengenal keluarga masing-masing. Dan sedapat mungkin kalau jalan harus ada pihak ketiga gitu. Jadi pacaran itu bukan berarti kita harus selalu jalan bareng berdua, tiap malam minggu pergi ke bioskop dan diselingi dengan kissing sebagai ungkapan rasa kasih saying,’ lanjutku dengan penuh semangat..

“Trus kamu ngomongin Rina, maksud kamu apa,” Selidik Tati. “Begini, kamu kan cewek, dan yang paling dekat lah sama si Rina, kamu coba bantuin dia deh, coba kamu hibur, kira-kira masalah yang dia hadapi apa?”

“Ga mau ah, kamu aja sendiri nanya sama Rina.” “Bukan begitu aku khawatir si Rinanya ga mau cerita masalahnya sama aku. Mungkin ada sifatnya pribadi. Aku Cuma pingin kamu hibur dia, mana tahu setelah dia cerita masalahnya ke kamu bisa mengurangi beban masalahnya,” pinta Taufik. “Oke lah ntar malam coba nanti aku bicarakan sama Rina,” balas Tati.

Rina dalam kesendirian nya itu tampak kembali sedih mengingat peristiwa yang sudah menimpanya. Rina adalah anak sulung dari tiga bersaudara. Adik nya masih sekolah. Yang nomor dua cewek, sekolah di salah satu SMU di pulau Jawa. Adiknya yang bungsu, cowok masih duduk di bangku SMP. Sementara orangtua Rina adalah buruh tani. Selepas Rina menamatkan sekolah SMU nya di pulau Jawa, dia langsung dapat pekerjaan di salah satu pusat industri di kota Karawang. Maklum sekolahnya telah menjalin kerjasama dengan perusahaan-perusahaan yang ada di kota Karawang. Jadi para siswa setelah tamat tidak bingung mau mencari pekerjaan. Dan Rina termasuk beruntung bisa sekolah di SMU tempatnya menuntut ilmu. Apalagi kalau keadaan kayak dia, mau meneruskan ke perguruan tinggi tentu bagi Rina saat itu tidak mungkin. Apalagi kondisi keluarganya yang berpendapatan menengah kebawah. Belum lagi kalau biaya untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi di negara ini sangat tinggi.
Mendingan aku bekerja saja sekalian bisa Bantu adik-adiku,’ demikina bisik hatinya menguatkan niatnya untuk memilih bekerja ketimbang melanjutkan pendidikannya ke strata yang lebih tinggi. Toh, selagi bekerja aku masih bisa melanjutkan pendidikan lagi. Yang terpenting bagiku saat ini bagaimana membantu si mbokku dan bapakku. Aku ga tega melihat Bapakku membanting tulang menghidupi kami” batin Rina.

Dan malam itu dia kembali mengingat perjuangannya sebelum datang ke kota ini dan bagaimana ia mengenal Randi yangs sekarang menjadi pacarnya. Dan peristiwa yang telah menimpanya malam minggu kemarin bersama Randi. Air mata nya tiba-tiba meleleh di kedua pipinya yang lesung pipit tersebut.. Matanya berkaca-kaca. Ada rasa penyesalan yang dalam menghimpit Rina, Cuma ia tak kuasa melepaskannya.

“Assalamualaikum,’tiba-tiba suara di seberang pintu membuyarkan lamunan Rina. “Waalaikumsalam.” Rina buru-buru menghapus air matanya seraya membukakan pintu. ‘Oh kamu Ti,’ rina mempersilahkan Tati masuk. “Na, kamu kenapa,” Tanya tati. “Kamu habis nangis ya.”.”Ga kok,’ rina berusaha menyembunyikan perasaannya. “Tapi kok aku lihat kamu habis nangis dech, tuh mata kamu juga masih kelihatan bengkak. Kamu ga usah bohong ya ama aku. Kan aku dan kamu ini dah ibarat saudaralah. Kalau kamu ada masalah ceritalah ma aku Na, mana tahu aku bisa bantu kamu,” bujuk Tati. “Ga kok ti, aku baik-baik aja, ga ada masalah,’ hibur Rina.

Rina dan Tati adalah sama-sama satu sekolahan di pulau Jawa. Mereka juga sama-sama mengadu nasib sebagai buruh di kota Karawang. Rina memilih hidup sendiri atau ngekos. Sementara Tati tinggal bersama kakaknya yang sudah duluan datang kekota ini

“Tadi pagi aku sempat melihat kamu. Kayaknya kamu ada masalah,” lanjut Tati. “Cuma aku ga sempat ngobrol ma kamu tadi pagi. Kan kamu tahu sendiri aku tadi ada masalah, barang banyak yang reject. Makanya aku ke tempat kamu. Kalau kamu sedih aku juga ikut merasakannya Na,” lirih Tati.

Rina kembali mengingat perjalanan hidupnya hingga terdampar di kota ini. Bagaimana waktu itu dia bersama Tati dengan penuh semangat mendaftarkan diri lewat sekolahnya untuk bekerja di salah satu pabrik di kota karawang. Masih teringat percakapan mereka sewaktu dibangku sekolah sewaktu menunggu giliran mereka interview yang dilakukan oleh pihak perusahan yang sengaja datang langsung kesekolah mereka.

‘Na, seandainya kamu diterima bekerja disana gimana?’ Tanya tati. “Yah aku terima lah Ti, Tapi aku mau kita berdua lulus diterima bekerja disana yah. Kamu kan sahabat aku, jadi aku ga mau pisah sama kamu Ti.’ Begitu mesra dan akrabnya mereka ketika saat itu menunggu giliran diinterview. “Ya semoga ya Na,’ harap Tati.. “Trus kamu punya rencana hidup setelah diterima nanti.Apa kamu sanggup jauh dari keluargamu.,’ lanjut Tati. “Sedih pastilah Ti, Cuma aku sudah bertekad dalam batin ini untuk meringankan perjuangan si Mbok dan Bapaku. Mereka sudah tua, Ti. Aku kasihan ma mereka. Ku juga pingin bantu adik-adiku yang butuh biaya sekolah. Kamu kan tahu sendiri biaya pendidikan dizaman sekarang ini kan mahal. Adik-adiku juga perlu buku pelajaran dan uang transportasi ke sekolahnya. Kasihan juga kan kalau mereka jalan kaki dari rumah ke sekolah, apalagi jarak rumahku kesekolah mereka cukup jauh juga.” Itulah tekad yang tertanam di hati Rina waktu itu.

Kembali air mata Rina tak kuasa keluar. Dia teringat si Mbok, dia teringat sama Bapaknya yang pagi-pagi buta udah ke sawah. Dia teringat pagi-pagi adik-adiknya siap berangkat sekolah. Dan seketika itu juga terbayang penyesalan yang sangat dalam terhadap kejadian malam minggu bersama Randi. Pipinya yang putih dibasahi oleh air matanya yang tak henti-hentinya keluar. Dan tak kuasa ia menahannya ia merangkul Tati sahabat shohibnya. “Aku makluk yang paling Hina Ti, aku hina… hina…Ti, sambil memeluk Tati sahabatnya. Air mata terus bercucuran hingga membasahi pundaknya Tati. “Maksud kamu, Tati dengan penuh keheranan. “Aku tak layak hidup, aku harus mengakhiri hidup ini…”Sstt, jangan ngomong gitu, Na,” bujuk Tati. “Emang kamu ada salah apa na, kok sampai ngomong gitu.” “:Aku menyesal Ti, benar-benar menyesal. Tapi nasi telah jadi bubur, aku harus bagaimana?” “Ceritalah kejadian apa yang menimpa kamu,” Tati mencoba untuk mengerti keadaan Rina.

Sambil terisak-isak Rina menceritakan malam kejadian itu. “Seperti biasa Ti, layaknya orang pacaran, malam minggu itu Randi datang kekosanku ini. Namanya anak kos tidak ada yang mengawasi apa yang kami perbuat Ti. Awalnya sih biasa-biasa aja. Apalagi anak kos disini juga banyak didatangi oleh cowok-cowok mereka. Malam itu Randi datang dengan motor gedenya ke kosan ku ini. Kira-kira jam delapanan. Setengah jam kemudian aku diajak jalan-jalan keluar ma Randi. Yah namanya orang pacaran aku hayo aja, Ti. Awalnya emang aku begitu merasakan kemesraan bersama Randi, apalagi dibonceng dengan motor gedenya itu, jadi aku berpegangan ma Randi. Entah setan apa yang merasuk kami seolah saya telah kehilangan kendali. Aku merasakan begitu dekat dan mesranya bisa dekat selalu bersama Randi,” Rina menceritakan sambil terisak-isak. Sementara Tati mendengarkannya seolah tidak mau melewatkan setiap peristiwa yang dilalui Rina bersama Randi. “Sekembalinya kami jalan-jalan dari luar, Randi belum pulang, waktu itu sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Dalam batinku juga ga mau Randi pulang. Aku masih menikmati kebersaam bersama Randi. Mungkin itulah yang dinamakan setan, Ti,” lanjut rina. “Ketika kita asyik nonton film, ntah setan apa yang mendorong kami, tangan Randi melingkar dipundakku. Dan aku seolah tidak berontak Ti,. Suasana semakin larut, aku hanyut terbawa emosi. Beberapa ciuman singgah di kening dan pipiku. Dan randi mulai beranikan dirinya menjamah seluruh tubuhku. Awalnya aku menolak. “Jangan randi, kita belum pasangan yang sah, berdosa.” Begitu pembelaanku waktu itu, ingin menyadarkan apa yang tengah kita lakukan. Tapi aku tak berdaya, Ti. Setan terkutuk itu telah menyeretku ke lubang yang paling nestapa kesekalipun. Saat-saat itulah aku tak bardaya menahannya Ti, ketika Randi bilang, “I love you, Na. Aku sangat menyayangi kamu, Na.” “Disaat itulah Ti. Aku juga hanyut sama suasana waktu, aku juga dah lepas kendali. Kamipun menikmati kemesraan di waktu itu hingga, sehingga terjadilah apa yang seharusnya tidak boleh kami lakukan Ti. “Nauzubillah,” Tati dengan kagetnya mendengarkan peristiwa yang menimpa sahabatnya ini. “Aku kotor Ti, aku hina….hina..sambil memberontak memukul-mukul dadanya. “Sudahlah Na, semuanya sudah terjadi”. “Aku menyesal Ti,….menyesal,” sambil memeluk kembali Tati sahabat yang telah menjadi tempat saling berbaginya.

“Aku baru sadar akan kata-katamu Ti. Dulu ketika kamu nasehati aku mengenai hubungan aku ma Randi, aku malah cuek saja,” Rina dengan suara terbata-bata. Ternyata beginilah akibatnya Ti. Aku malu ti, aku seolah sudah tak berharga lagi Ti.” ”Aku mengerti posisimu Na, sudahlah yang berlalu biarlah berlalu, sekarang kau tatap hari depanmu. Bukankan Allah itu maha penerima tobat kalau hambanya benar-benar bertaubat,” Tati coba menghibur sahabatnya ini. “

Terbayang wajah si mboknya dikampung, terbayang bapaknya yang kurus tanpa lelah bekerja seharian ditengah terik matahari. Badannya yang kurus tampak kehitaman selalu disengat panasnya matahari. Terbayang masa depan adik-adiknya. Terbayang hari indah yang telah dilaluinya. Terbayang masa depannya yang sudah hancur ketika malam minggu bersama Randi.. Mbok maafkan aku, Bapak maafkan anakmu ini yang tidak bisa menjaga diri. Ya Tuhan ampunilah diriku ini, batinnya dalam hati.
***

Karawang, Mei 2008

Tidak ada komentar: