Minggu, 12 Oktober 2008

cerpen

Ketika Cinta Tak Kunjung Dipetik

By Khairul Azmi


“Kalau rezki abang belum ada disini, mudah-mudahan Allah menyiapkan di daerah lain,” kata-kata itu selalu teringiang ditelinga syarif. Semenjak pertemuan di perpustakaan kampus ada azzam yang kuat dalam sanubari syarif kalau dia tidak boleh menyerah. Gelar sarjana yang dia sandang harus bermanfaat dan tidak boleh tergolek tanpa ada yang menghargai.

Sudah hampir setahun syarif menamatkan gelar kesarjanaannya di salah satu Universitas tertua di pulau sumatera. Kerja yang diidam-idamkannya belum juga kunjung tiba. Udah puluhan surat lamaran dikirim syarif ke berbagai instansi. Tapi tak ada satupun yang nyangkut. Sempat pula dia mengikuti berbagai tes penerimaan calon pegawai negri sipil di negri ini. Pikirnya barangkali ada nasib di instansi pemerintahan. Apalagi tes sebagai pegawai negri sipil sudah mulai bersih dan tentu menurut dia bakal ada peluang. Lain kalau beberapa tahun sebelumnya, tidak sedikit dia mendengar dari tetangga kalau mau masuk pegawai negri sipil harus menyiapkan segopok uang yang tidak sedikit pula nilainya. Bahkan ada anak tetangganya yang rela menjual sawah nya untuk memuluskan niatnya masuk pegawai negri.

Berbagai tes telah dilakukannya. Ada tes pegawai di dinas pariwisata. Ada tes di universitas. Ada tes di bank. Terakhir dia mencoba peruntungan di hotel berbintang lima. Setelah menunggu beberapa hari semenjak wawancara terakhir belum juga ada panggilan. Pasrah. Dia hampir kehilangan semangat. Sempat dia berpikir apa gunanya dia kuliah capek-capek beberapa tahun, toh mencari pekerjaan tetap saja sulit. Dia menyalahkan pendidikan. Dia menyalahkan universitasnya. Dia menyalahkan pemerintah. Dia menyalahkan dirinya sendiri. Yang dia kesalkan kenapa tidak ada investasi di negrinya sehinga banyak berdiri perusahaan atau paling tidak dia tidak harus bersusah payah mencari pekerjaan. Setiap tahun universitas melahirkan ribuan sarjana tapi lowongan pekerjaan yang tersedi cuma puluhan. Ironis. Kembali dia hanya pasrah.

Tapi kata-kata Mila di perpustakan itu kembali menguatkan azzamnya. “kalau rezki abang belum ada disini, mudah-mudahan Allah menyiapkan didaerah lain.’ Ya, kata-kata Mila ibarat pil mujarab yang telah membangunkan seekor singa yang tertidur. Dia mengaum. Dia mulai membuka mata. Kupingnya dibuka lebar-lebar. Hatinya ditata kembali. Niatnya hanya satu - tidak boleh menyerah. Pasti ada jalan. Pasti ada solusi. Bumi Allah masih luas. Masih banyak rezki yang lain.

Awal peruntungannya, Azmi memulai di daerah Medan. Dia memperoleh panggilan tes wawancara di salah satu bank swasta terkenal disana. Berangkatlah ia dari kampung halamanya menuju kota Medan. Perjalanan yang ditempuh lewat jalur darat cukup melelahkan. Sesampainnya di kota medan, syarif langsung mencari mesjid terdekat guna menunaikan ibadah shalat sekaligus mencari tempat menginap selama mengadu nasib di kota Medan. Beruntung sang pengurus mesjid berbaik hati kepada Syarif. Dia diperbolehkan tinggal sementara di ruang “garin” atau seorang penjaga mesjid.

Malam sebelum hari tes wawancara dilaksanakan, Syarif tak lupa bermunajat kepada sang penguasa alam jagat raya ini. Dia memohon jalan yang terbaik bagi karir dan masa depannya. Karena dia sadar Dia lah yang berhak menilai dimana Syarif harus berkiprah. Menurutnya dia hanya akan berusaha dan terus berusaha. Sebelum berangkat pamannya dikampung sempat menasehati dirinya, “Rif, walau kamu belum mendapatkan pekerjaan, kamu jangan patah semangat ya, kamu harus terus berusaha mencari kuncimu. Nanti dengan kunci itu lah duniamu akan terbuka.’ Beban yang dia rasakan sebagai seorang sarjana sangat berat. Apa kata orang kampung nantinya, sudah bergelar sarjana tapi toh akhirnya menjadi penganguran juga atau cuma bekerja sebagai kuli. Dia khawatir nanti dikampungnya ada pameo, orang kampung untuk enggan menyekolahkan anak mereka tinggi- tinggi kalau sarjana saja banyak yang mengangur. Dia bertekad untuk membuktikan kepada orang kampungnya. Bahwa dia bukan yang dikira semacam itu. Motivasnya juga bertambah setelah mendengar kata-kata pamanya dan juga kata-kata Mila.

Diam-diam malam itu pikirannya tertuju kepada Mila. dia sangat mengagumi Mila. Dalam batinnya dia mulai ada menaruh hati pada gadis tersebut. Ya, ada benih cinta dalam hatinya. Dia tidak berani mengucapkan janji kepada sang gadis pujaannya. Dia menungu biarlah sang waktu yang akan mengungkapkannya. Dia percaya kalau jodoh tak kan lari kemana. Dia bertekad kalau sudah berhasil dia mau langsung memetik gadis pujaannya. Tapi sekarang, ah belum waktunya pikirnya. Buat makan dia sehari-hari saja masih mengandalkan orang tua. Dia akan menunggu waktu yang tepat dengan persiapan yang matang untuk mengutarakan maksud hatinya kepada\ Mila. Kalau memang jodoh Mila tidak akan jatuh kedalam pelukan lelaki lain.

Begitulah tekad yang membara dalam hati syarif. Keesokan harinya tes yang dilalui syarif cukup melelahkan. Ternyata pihak bank menerapkan system gugur dalam perekrutan calon karyawannya. Semuanya ada empat tahapan tes. Pertama, tes psikologi. Kedua, tes kelincahan dan kecepatan berhitung. Ketiga tes diskusi kelompok dan terakhir tes wawancara. Dan ternyata tidak sedikit para peminat yang ingin melamar di bank tersebut. Ada yang dari Lampung, Aceh, Jakarta, Padang dan Medan. Semuanya saling membuktikan diri mereka yang terbaik dan layak diterima di bank tersebut.

Tes yang cukup melelahkan. Tes pertama dia berhasil lulus. Sementara yang lain yang gagal langsung meninggalkan ruang tes. Yang diterima Cuma sepuluh orang sementara yang tinggal untuk tes kedua bejumlah seratus orang. Jadi bakalan ada sekitar sembilan puluh orang lagi yang akan pulang. Saat menungu pengumunan hasil tes terakhir, hatinya mulai tak tenang. Akhirnya keluar lah hasil pengumunan tes. Dan namanya tak tercantum dalam papan pengumuman sebagai calon karyawan yang lulus. Sedih. Terpukul dan kembali dia memasrahkan dirinya kepada Sang penciptanya. Seraya kedua tanganya diangkat, “Ya allah, hamba percaya ini adalah keputusanMu yang terbaik.’

Syarif tak berputus asa. Setelah dia mentok di kota Medan. Dia berencana kembali mengarungi bumi Indonesia. Kali ini yang bakal ditujunya adalah Jakarta. Ya kota yang menurutnya menjadi pelabuhannya selanjutnya. Maka, berangkatlah Syarif darikota Medan menuju Jakarta. Selama dalam perjalanan, tak henti-hentinya Syarif mengagung-agungkan Sang Maha Pencipta, mengakui Kemahaluasan dan rezki yang begitu luas yang terhampar. Perjalanan yang ditempuh cukup melelahkan dan mennyeberangi Laut Sunda.

Perlahan-lahan bus yang ditumpangi syarif sudah memasuki kota Jakarta. Gedung-gedung bertingkat terpampang dihadapan Syarif. Ada secercah harapan terbesit dihati syarif. Ada juga sedikit keraguan dihatinya. Dia membayangkan kompetisi yang bakal dihadapinya. Ya, kota metropolis tentu penuh dengan kompetisi dan tantangan pikirnya. Sementara dia dari daerah. Tapi segera pikiran tersebut dihalaunya dan kembali ditata niat untuk datang ke Jakarta. Ada semacam semangat. Ya, semangat untuk membuktikan diri kalau orang daerah tidak kalah kualitasnya dari orang pusat.

Tepat pukul delapan malam bus yang ditumpangi Syarif merapat diterminal Rawamangun. Baru kali ini dia menginjakan kakinya di kota Jakarta. Suara hiruk pikuk diterminal malam itu cukup ramai. Para pengemudi angkut saling berebut calon penumpang. Tidak ketinggalan para tukang ojek yang menawarkan jasanya. Dia mencoba menenangkan diri. Dia mencari toilet di dekat terminal. Wajahnya disirami dengan air. Rasa bermimpi, karena dia telah menginjakkan kakinya di kota jakarta. Setelah selesai merapikan diri. Dia merogoh saku celananya. Secarik kertas keluar dari saku celananya. Lama dia memandang isi tulisan kertas tersebut. Ya, ini adalah alamat yang akan dituju syarif. Sementara dia bakal numpang dirumah saudara sepupunya. Setelah nanya sana sini akhirnya syarif berhasil menemukan rumah saudara sepupunya. :”Assalamualaikum,’ suara syarif seraya pintu rumah diketok. “Waalaikumsalam,’ sahut suara yang punya rumah. “Wah kamu toh rif, kapan nyampai, ayo masuk.’ Saudara sepupu syarif kaget akan kedatangan syarif ke kota Jakarta. Malam itu dia dijamu dengan hidangan spesial oleh saudaranya. “Kamu jangan sungkan dirumahku ini ya, kalau ada butuh apa kamu ngomong ma aku atau ke istriku,’ demikian saudaranya ketika mereka menuju ke tempat peraduan masing-masing.

Keesokan harinya Syarif mulai bertarung, memasang kuda-kuda – memasukan surat lamaran kerjanya keberbagai instansi yang ada dijakarta. Baginya apa aja asal bisa bertahan di kota jakarta ini akan dilakoninya. Dia tak mau pulang sebagai kestaria yang kalah. Dia sudah kepalang basah. Dia malu pulang ke kampungnya sebelum berhasil. Dia kurang pede mengutarakan niatnya melamar Mila kalau belum berhasil. Itulah tekad yang tertanam dalam sanubarinya. Selama dua hari dia berpindah dari satu kantor ke kantor lainnya. Akhirnya, dia diterima juga disalah satu lembaga pendidikan sebagai admin. Yah disinilah awal mula karirnya.

Tak lupa dia sujud syukur atas nikmat ini. Paling tidak dia bisa survive terlebih dahulu pikirnya. Setelah syarif memperleh pekerjaan pertamanya dia mengutarakan niatnya untuk ngekos kepada saudaranya agar dekat dengan tempat dia bekerja.

Kebetulan tempat kosan syarif tidak terlalu jauh dari mesjid. Sehinga sehabis pulang bekerja dia tidak pernah melewatkan panggilan suara azan magrib dan isya. Begitu juga subuh, suara murattal di pagi buta itu telah memberikannya semangat baru untuk lebih mendekatkan diri kepada Sang Khaliknya. Tak lupa ia juga mengerjakan puasa sunnah senin kamis. Tak terasa sudah enam bulan syarif berada di Jakarta. Dan dia sudah bisa mengirimnkan sedikit rezkinya ke kampung halamnya buat ibundannya tercinta.

Sementara itu semangat syarif tak pernah pudar. Dia terus mencari informasi mengenai lowongan pekejaan. Tepatnya bulan ketujuh syarif di Jakarta, dia dipangil wawancara oleh sebuah perusahaan multinasional untuk level staf. Malam sebelum hari wawancara Syarif mendatangi sang pemilik alam jagat raya ini. Dia ingin mengetuk pintuNya. Berharap petunjuk terbaik yang akan diberikanNya kepadanya. Siangnya tepat pukul sembilan syarif sudah berada di ruang lobby perusahan tersebut. Setelah melapor, syarif dituntun keruang manajer personalia oleh salah seoarang staf perusahaan. Setelah tes seharian penuh dan melelahkan, manajer personalia tersebut menutup pembicaran meraka, “Oke, saudara Syarif, kami akan mempelajari lebih dalam lagi kualifikasi saudara dengan pihak manajemen perusahan. Kalau kualifikasi saudara memeuhi kriteria kami, saudara akan kami panggil kembali untuk berkerja di perushaam ini.’ Demikian suara sang manajer tersebut. “Baik pak, dan terima kasih atas kesempatan yang diberikan kepada saya..” Syarif pamit undur diri dari hadapan sang manajer tersebut. Diluar gedung dia kembali mengucapkan rasa syukur. Yah kalau memang baik baginya berkarir disini, mudah-mudahan Allah memudahkan jalannya, doa syarif dalam hati.

Dua minggu lamanya setelah tes wawancara di perusahaan tersebut dilewatinya. Tak ada kabar. Dia mulai bertanya apakah dia gagal atau gimana. Ditepisnya pikirannya. Dia kembali fokus kepada pekerjaan nya sekarang sebagai admin di salah satu lembaga pendidikan. Kesokan harinya handphone berdering.”Ini Bapak syarif.’ “Ya saya sendiri. “bapak diminta datang hari senin depan jam sepuluh langsung ketemu dengan manajer personalia.” Kemudian suara halus seorang wanita mngakhiri telephone tadi. Tak henti-hentinya syarif mengucapkan syukur sekaligus sujud syukur. Ya syarif diterima sebagai karyawan di sebuah perusahan multinasional untuk level staf.

Besoknya dia melapor keatasanya di lembaga pendidikan tersebut. Syarif mengutarakan niatnya untuk mengundurkan diri sebab dia diterima disalah satu perusahaan multinasional. Dia pengin sukses. Begitulah syarif berpanjang lebar pada atasannya. “Semoga kamu menjadi lebih baik lagi ya Rif,’ dukung sang atasannya. Sebenarnya atasannya sudah mengangap syarif sebagai saudara sendiri. Apalagi selama bekerja dengannya syarif menunjukkan prilaku yang sopan, santun dan tidak neko-neko. Dan syarif juga terkenal dengan karyawan yang gigih dan pekerja keras.

Akhirnya resmilah syarif tercatat sebagai salah satu staf di salah satu perusahaan multinasional. Tentu dari segi gaji dan prospek kedepannya sudah cukup menjanjikan. Apalagi gajinya diatas rata-rata perusahaan nasional. Tak terasa sudah setahun dilewatinya bekerja diperusahan multinasional tersebut. Sekarang dia sudah memiliki motor. Dari segi materi sudah mencukupi. Sementara umurnya kian hari kian bertambah.

Tiba-tiba telephone dari kampung datang. Suara perempuan dibalik telephone. “Bagaimana kabarmu, Nak. Kerjaanmu lancer?’ suara emaknya dari kampung. “:Alhamdulillah Mak, saya sehat. Keluarga di kampung gimana sehat semua.” “ Alhamdulillah kami disini ada dalam keadaan sehat semua.’ “Rif, kamu kan sudah bekerja dan sudah bisa pula membantu Emak dikampung. Sementara kamu kan juga sudah berumur. Tidak baik menungu terlalu lama,” Suara emak syarif dengan penuh pengharapan. Syarif sudah bisa menebak kearah mana pembicaraan Emaknya. “Iya emak, secepatnya syarif akan melaksanakan sunnah Rasul tersebut.’ Demikian syarif mencoba mengakhiri desakan Emaknya.

Sebelum tidur, dia teringat kata-kata Emaknya, “tidak baik menunggu terlalu lama.’ Iya dia sekarang sudah mapan. Sudah mantap untuk menikah. Ya, dihatinya hanya ada satu wanita. Ya, Mila. wanita yang telah memberikan peluru dasyat kepadanya. Wanita yang telah mencuri hatinya. Keberhasilannya sekarang ini juga tidak terlepas dari kata-kata yang diucapkan Mila.

Keesokan harinya dia mencoba menghubungi Mila. Tapi ga ada suara jawaban. Sudah hampir setahun lamanya syarif tidak berhubungan lagi dengan Mila. Maklum kesibukannya sebagai staf di perusaahan baru cukup menyita pikirannya. Dia mulai kehilangan akal. Dia mulai berpikir siapa kira-kira yang tahu nomor Mila. Akhirnya dia mendapatkan nomor telephone rumah Mila. Waktu itu yang menjawab saudara Mila. “Kak, Mila lagi ke pasar, Abang ini siapa.” Selidik suara perempuan dibalik telephone. Setelah menjelaskan siapa dirinya, telephonepun dimatikan. Selepas magrib, dia mencoba menelephone kembali Mila. ‘Oia, bentar ya kak,’ suara dibalik gagang telephone segera memangil Mila. Kemudian tak lama mereka pun bebicara lewat telephone. Syarif dengan sedikit berbasa basi menanyai kabar Mila. Syarifpun sudah bertekad kalau dia sudah memiliki karir yang mantap dia akan melamar Mila. sekarang waktunyalah dia ingin mengutarakan niat dan maksudnya. “Mila, abang ingin menjaga dan menjadi pelindung Mila sampai maut memisahkan kita. Maukah Mila menjadi istri abang.” Tiba-tiba dari seberang telephone suara mila terisak-isak. “Maafkan Mila bang, mila sudah dipetik orang. Rencananya kami akan melangsungkan sunnah rasul ini bulan depan.’ Bagai petir disiang bolong suara yang begitu dikaguminya itu tiba-tiba ingin menghentikan aliran darah dijantung. Sesaat kemudian suasana hening. Lama syarif terdiam. Meratapi nasib yang menimpanya. Begitu juga Mila dia juga menyesal baru tahu saat ini ternyata abang Syarif sangat mencintai dirinya. Air matanya tak kuasa terbendung membasahi pipinya yang masih sangat halus dan putih. “Bang, bang syarif masih online.’ “Ya, saya mila,” suarnya berubah serak yang tak kuasa menyimpan rasa sedihnya. Maafkan mila bang, kalau abang selama ini ingin melamar mila. mila tidak tahu bang. Seandainya abang mengutarakan maksud abang, mungkin abanglah yang mesti memetik mila.”

Malam itu matanya tidak bisa tidur. Ada penyesalan. Yah, keteledoran dari sikapnya. Tekadnya untuk melamar Mila kandas. Penantianya selama ini untuk berhasil terlebih dahulu baru melamar Mila gagal. Matanya sudah kelihatan bengkak. Air matanya tak henti-hentinya keluar meleleh kepipinya. Dia teringat kata-kata mila tadi, ‘kalau abang mengutarakan maksud abang kepada mila, mungkin abanglah yang mesti memetik Mila.”


***
Juni 2008

Tidak ada komentar: