Rabu, 22 Oktober 2008

NASEHAT

Mutiara Hadist

Dari Imran r.a., dari Nabi SAW beliau bersabda: “Aku menengok ke dalam surga, maka kulihat kebanyakan isinya orang miskin. Dan aku menengok ke dalam neraka, maka kulihat kebanyakan isi kaum wanita.’

Mengomentari mengenai hadist diatas, ada dua perkara yanga pada diri seorang wanita akan dihisab yakni: pertama, tentang shalat yang didirikiannya dan yang kedua, tentang kepatuhannya kepada sang suami. Mengenai yang kedua, sungguh emamsipasi sudah disalah artikan bagi sebagian kaum wanita. Padahal dalam Islam sudah diatur tentang emansipasi, tentang kedudukan seorang wanita dan pria, tentang kedudukan seorang istri di depan suaminya. Bukankah Ridho suami sebagai jalan pembuka bagi para wanita masuk kedalam surga. “Surga istri terletak dibawah telapak kaki suami.” “Surga anak terletak dibawah telapak kaki ibu.”

OPINION

Hari Gini Masih Tawuran?


Menarik disimak peristiwa yang terjadi antara dua buah universitas swasta terkenal di Jakarta yakni tawuran yang terjadi antara mahasiswa UKI (Universitas Kristen Indonesia) dan mahasiswa YAI, sabtu 18/10/2008 didepan kampus mereka didaerah salemba Jakarta Pusat. Terlepas dari siapa yang salah, siapa yang memulai, hal ini mencerminkan bahwa mahasiswa masih terjebak dalam pola-pola “dangkal” dalam menyelesaikan setiap konflik dan masalah yang ada. Bukankah mahasiswa itu sebenarnya makluk intelek yang seyogyanya memberika solusi yang jitu baik itu dalam melihat persolaan pribadi maupun persoalan yang lebih besar seperti menjaga jalannya reformasi yang sekarang masih tertatih –tatih.

Ada apa gerangan yang terjadi di kalangan generasi muda kita. Mahasiswa sebagai ‘agent of change’ dalam era sekarang ini sangat dituntut sekali perannya. Peran mahasiswa belum selesai setelah bergulirnya reformasi. Tetapi tugas mahasiswa lebih komplek lagi. Oleh karena itu bangsa ini sangat membutuhkan para mahasiswa-mahasiswa yang bisa memberikan solusi jitu terhadap persolaan bangsa ini. Akan tetapi jika mahasiswa itu sendiri belum mampu memberikan solusi terhadap masalah internal mereka, sungguh sangat miris sekali, bagaimana ia akan membetulkan arah bangsa ini.

Kearifan dan sikap kedewasaan mahasiswa sangat dituntut sekali. Mereka (mahasiswa) bukan lagi sekolompok orang yang menyelesaikan persoalan dengan otot, tetapi dengan otak, diplomasi dan pendekatan-pendekatan personal. Sehingga persoalan ataupun sengketa pribadi antar oknum mahasiswa bisa diselesaikan dengan cara santun dan tidak lagi melakukan ‘premanisme” ataupun merusak fasilitas umum yang kesemuanya itu hanya bikin rakyat tambah sengsara. Rakyatpun bangga ketika dengan bersama elemen mahasiswa bisa menggulingkan orde baru. Dan tentunya, rakyat akan bertambah bangga lagi, kalau melihat mahasiswa Indonesia lebih dewasa, matang dalam bertindak dan berpretasi global.
Bagaimana menurut pembaca?

ARTIKEL

Pacaran Versus Taaruf

Dalam zaman sekarang ini tentulah hampir semua generasi muda kita tidak mengenal yang nama pacaran. Tapi sedikit sekali generasi muda kita yang mayoritas islam mengenal apa itu taaruf. Bagi kebanyakan kita barangkali mengangap pacaran adalah masa pra-nikah atau bahkan ada yang mengangap pacaran just having fun. Bahkan ada Tiap bulan berganti pacar. Ibarat puas dengan pasangan yang satu beralih kepasangan yang lain.

Pada intinya mereka berpacaran adalah juga ingin mengenal pribadi masing-masing untuk melangkah ke jenjang yang lebih serius. Tapi apakah Islam mengajarkan demikian dalam mengenal lawan jenis kita?

Lazim yang dilakukan muda mudi kita adalah berpacaran itu ibarat memadu kasih dan sayang dengan pasangannya. Yang terkadang batas-batas norma agamapun terkadang dilanggar. Kalau kita tengok disekitar kita misalnya apakah itu di mall, di pusat keramaian, tentu kita bakal menemukan fenomena pacaran kalangan muda mudi kita saat ini. Mereka pergi kebioskop. Film beraksi, tidak sedikit pula mereka juga “bereaksi.’ Ngajak si doi malam mingguan berdua bahkan ditempat yang sunyi gelap. Entah apa yang komitmen mereka ucapkan. Sementara angin dingin merasuk ketulang mereka sehingga satu sama lain ‘merapat.’ Tentu masih banyak lagi phenomena ala muda mudi kita berpacaran.

Rasanya belum punya pasangan atau pacar dikalangan muda mudi kita dianggap sebagai “aib”. Bahkan terkadang lingkungan juga ikut mendorong ke arah sana. Cobalah amati phenomena masyarakat kita terkadang pertanyaan mereka juga seolah menggiring seseorang untuk berpacaran. “Sudah punya pacar belum?” Adalah salah satu bentuk kalimat yang sering kita dengar dikalangan masyarakat. Sehingga siapapun kalangan muda mudi yang belum punya pacar merasa ada ‘offensive’ kearah mereka. Seolah masyarakat melazimkan akan berpacaran itu sendiri.

Sementara dalam Islam, dalam mengenal masing-masing pribadi yang berlainan jenis dikenal dengan sebutan taaruf. Inipun dimaksudkan bagi mereka yang betul-betul ingin melangkah ke jenjang yang lebih serius, bukan lagi main-main apalagi mempermainkan pasangan sendiri. Misalnya kalau harus berpergian haruslah ditemani oleh pihak ketiga agar menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Jangankan ‘kissing’ berpegangan tanganpun juga tidak boleh karena mereka belum muhrim. Yang jelas hubungan yang dibina haruslah dalam bingkai norma-norma agama. Pemilihan pasangan kita sedapatnya haruslah melihat kualitas agamanya barulah pendidikan, sosial maupun kekayaannya. Dan hanya kepadaNyalah kita serahlah semuanya setelah kita berusaha disamping diiringi dengan do’a, shalat istikarah dan shodaqah..
Bagaimana dengan anda?

Jumat, 17 Oktober 2008

PUISI

“Ya Allah, Engkau adalah pengendaliku
Engkau adalah tujuanku
Oleh dan karena-Mu aku menjalani kehidupan
Engkau yang membolak-balikkan hatiku
Engkau yang menetapkan hatiku
Dalam cinta karena dan untuk-MU
Inilah cintaku….
Mencintai seseorang
Menyayangi seseorang
Karena Engkau mencintai dan menyayanginya
Aku merasakan manisnya cinta dan mencintai
Karena-Mu
Inilah cintaku….
Bimbinglah aku dengan kalimat-Mu
Tuntunlah aku dengan Tangan-Mu
Janganlah kepapaan
Janganlah penderitaan
Jadi penghalang rasa
Syukurku pada-Mu.”
(Dikutip dari Buku Merajut Samara)

Kamis, 16 Oktober 2008

Artikel

Pacaran Versus Taaruf

Dalam zaman sekarang ini tentulah hampir semua generasi muda kita tidak mengenal yang nama pacaran. Tapi sedikit sekali generasi muda kita yang mayoritas islam mengenal apa itu taaruf. Bagi kebanyakan kita barangkali mengangap pacaran adalah masa pra-nikah atau bahkan ada yang mengangap pacaran just having fun. Bahkan ada Tiap bulan berganti pacar. Ibarat puas dengan pasangan yang satu beralih kepasangan yang lain.

Pada intinya mereka berpacaran adalah juga ingin mengenal pribadi masing-masing untuk melangkah ke jenjang yang lebih serius. Tapi apakah Islam mengajarkan demikian dalam mengenal lawan jenis kita?

Lazim yang dilakukan muda mudi kita adalah berpacaran itu ibarat memadu kasih dan sayang dengan pasangannya. Yang terkadang batas-batas norma agamapun terkadang dilanggar. Kalau kita tengok disekitar kita misalnya apakah itu di mall, di pusat keramaian, tentu kita bakal menemukan fenomena pacaran kalangan muda mudi kita saat ini. Mereka pergi kebioskop. Film beraksi, tidak sedikit pula mereka juga “bereaksi.’ Ngajak si doi malam mingguan berdua bahkan ditempat yang sunyi gelap. Entah apa yang komitmen mereka ucapkan. Sementara angin dingin merasuk ketulang mereka sehingga satu sama lain ‘merapat.’ Tentu masih banyak lagi phenomena ala muda mudi kita berpacaran.

Rasanya belum punya pasangan atau pacar dikalangan muda mudi kita dianggap sebagai “aib”. Bahkan terkadang lingkungan juga ikut mendorong ke arah sana. Cobalah amati phenomena masyarakat kita terkadang pertanyaan mereka juga seolah menggiring seseorang untuk berpacaran. “Sudah punya pacar belum?” Adalah salah satu bentuk kalimat yang sering kita dengar dikalangan masyarakat. Sehingga siapapun kalangan muda mudi yang belum punya pacar merasa ada ‘offensive’ kearah mereka. Seolah masyarakat melazimkan akan berpacaran itu sendiri.

Sementara dalam Islam, dalam mengenal masing-masing pribadi yang berlainan jenis dikenal dengan sebutan taaruf. Inipun dimaksudkan bagi mereka yang betul-betul ingin melangkah ke jenjang yang lebih serius, bukan lagi main-main apalagi mempermainkan pasangan sendiri. Misalnya kalau harus berpergian haruslah ditemani oleh pihak ketiga agar menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Jangankan ‘kissing’ berpegangan tanganpun juga tidak boleh karena mereka belum muhrim. Yang jelas hubungan yang dibina haruslah dalam bingkai norma-norma agama. Pemilihan pasangan kita sedapatnya haruslah melihat kualitas agamanya barulah pendidikan, sosial maupun kekayaannya. Dan hanya kepadaNyalah kita serahlah semuanya setelah kita berusaha disamping diiringi dengan do’a, shalat istikarah dan shodaqah..
Bagaimana dengan anda?

Rabu, 15 Oktober 2008

Do You Know?

Orang Yang Selalu Diberi Pertolongan Allah

Tiga orang yang selalu diberi pertolongan oleh Allah SWT adalah (from Abu Hurairah):
1. Seorang mujahid yang selalu memperjuangkan agama Allah
2. Seorang penulis yang selalu memberi penawar
3. Seorang yang menikah karena ingin menjaga kehormatan dirinya

Do You Know?

Sambal Itu Sehat Lho!

Barangkali kita semua sepakat rasanya makan tanpa diiringi dengan sambal rasanya kurang lengkap. Bahkan ada yang bilang walaupun tidak punya duit buat bilang daging, makan dengan sambalpun terasa nikmat. Tetapi bagi mereka yang lain, mungkin dikarenakan kondisi kesehatan, sambal tidak dianjurkan dikonsumsi.

Kandungan Sambal

Didalam sambal yang mana bahannya berasal dari cabe rawit itu ternyata mengandung vitamin C dan betakaroten (pro vitamin A). Zat yang dikandung cabai mengalahkan buah-buahan popular seperti mangga, nanas, papaya atau semangka. Bahkan kadar kalsium dan fosfornya mengalahkan ikan segar.

Rasa Pedas Sambal

Ternyata dalam sambal itu terkandung komponen kapsaisin. Ini tersimpan dalam urat putih cabai – tempat melekatnya bijinya. Untuk mengurangi rasa pedas sambal sebagian orang membuang urat biji pitihnya beserta bijinya. Sebenarnya khasiat terbesar pada cabai itu sendiri terdapat dalam komponen kapsaisin itu tadi. Komponen Kapsaisin menjaga darah tetap encer dan men cegah terbentuknya kerak lemak pada pembuluh darah.

Manfaat Komponen Kapsaisin:
- meningkatkan gairah makan
- melonggarkan penyumbatan pada tenggorokan dan hidung
- sebagai anti radang dan mengobati bisul dan bengkak

Walaupun begitu, mengkonsumsi komponen kapsaisin ini tidak boleh pula berlebihan. Karena akan meningkatkan asam lambung dan bisa menyebabkan sakit perut. Dan Bukankah segala sesuatu yang berlebihan itu kawannya setan.

Hal yang perlu dihindari

Jangan minum minuman yang bersoda (soft drink) dan air hangat dikala kepedasan, karana akan menambah panas di bibir dan rasa pedas.

Berani mecoba pedasnya sambal???Bagaimana dengan anda???

Do You Know?

Hal Yang Diperhatikan Saat Buang hajat

Judul diatas memang kelihatan sepele. Tetapi tahukah kita bahwa kebanyakan dari kita terkadang melupakan hal yang mestinya kita jaga saat buang hajat. Di toilet-toilet kantor, banyak dari kita yang kadang-kadang melakukan hal-hal yang tidak seharusnya kita lakukan. Sadar atau tidak saar kita berarti belum beretika dalam buang hajat. Tentu inilah yang membedakan manusia sebagai makhluk mulia dengan hewan. Berikut beberapa nukilan sabda Nabi.

Nabi bersabda, “Jangan sekali-kali seseorang diantara kamu memegang dzakar (kemaluannya dengan tangan kanannya disaat ia kencing, dan jangan pula bersuci dari buang air dengan tangan kanan”

Perlu ditegaskan bahwa bahwa tangan kanan adalah untuk hal yang baik seperti makan dan minum, sedang tangan kiri untuk hal seperti bersuci dari buang hajat

Diriwayatkan dari Umar. “bahwa sesungguhnya ada seseorang lelaki lewat, sedang Rasulullah sedang buang air kecil, lalu orang itu memberi salam kepada Nabi, namun beliau tidak menjawabnya (riwayat muslim)

Tentu alangkah baiknya ketika kita sengan buang hajat untuk tidak bercakap-cakap. Nah, kebanyakan teman-teman kantor sering melupakan hal ini.

Berikut sabda nabi tentang bersuci, “kami dilarang oleh Nabi beristinja’ (bersuci) dengan menggunakan kurang dari tiga biji batu atau beristinja dengan menggunakan kotoran hewan atau tulang. (riwayat muslim)

Semoga bermanfaat.
(sumber majalah nikah)

Minggu, 12 Oktober 2008

kata bijak

“Bila engkau hendak berkawan dengan orang-orang, maka berkawanlah dengan orang yang bila engkau melayaninya, iapun melindungimu, dan bila berkawan dengannya ia menghiasimu. Bila engkau tidak mampu menggunakan hartanya, berkawanlah dengan orang yang bila engkau berbuat baik kepadanya, ia pun membalasnya, dan bila engkau berbuat dosa maka, iapun mencegahnya. Berkawanlah dengan seseorang yang bila engkau meminta sesuatu darinya, iapun memberinya, tetapi bila engkau diam, ia pun menyapanya. Dan bila engkau mengalami musibah iapun menolongmu. Kawan dengan orang yang bila engkau berkata, iapun membenarkan perkataanmu dan bila engkau hendak melakukan sesuatu, ia pun menasehatimu dan jika kalian bertengkar, ia lebih mengutamakanmu.’

cerpen

Galau
By Amatovani

Kerinduaan akan kampung halaman terasa membuncah. Tak terasa sudah, liburan lebaran semakin dekat. Angan-angan melayang jauh, melihat hamparan sawah yang kehijauan. Kalau pagi bunyi kokok ayam sahut menyahut menandakan matahari sudah mau keluar dari peraduan. Masih teriang ditelinga bagaimana kicauan bunyi burung merdunya – cit cit cit. seoalah alam sedang menari dengan alunan irama yang merdu dan penuh kedamaian. Kedamaian yang sangat susah ditemui dikota metropolitan yang penuh persaingan - sikut kanan, sikut kiri.

Sementara teman-teman dikantorku sibuk mengatur jadwal kepulangan mereka ke kampung halaman mereka masing-masing. Tak sedikit yang akhirnya membayar tiket mahal, karena masih bergerilyanya calo dinegri ini. Maklum dinegeriku masih saja ditemui oknum-oknum yang mempermainkan harga tiket diterminal-terminal keberangkatan.
***
Siang malam aku sibuk dengan rutinitas harian.terkadang sampai lupa diri. Semakin hari umurpun bertambah. Tahun berganti tahun, bulan berganti bulan, namun diriku masih saja sibuk dengan materi yang dikejar. Pagi sekali aku sudah berangkat ke kantor. Malam baru pulang. Begitu seterusnya yang aku lakukan. Terkadang minggu aku habiskan buat kerja. Bahkan salah seorang sahabatku sambil bergurau pernah bilang, ‘kamu kapan dapat pacar, kalau kamu hanya mikirin kerja…kerja…kerja.

Memang sempat aku berpikiran demikian. Cuma bagiku kalau memang sudah tiba masanya, maka tidak akan lama juga toh. Apalagi kalau dipikir-pikir pacaran itu juga toh tidak menjamin bakalan jadi benar. Banyak cost dan waktu yang terbuang. Kalau mau ketemu harus punya duit buat traktir makan atau nonton di bioskoplah. Kalau iya benar jodoh, kalau ga hanya buang-buang energi dan bakalan bikin masalah baru. Mendingan dijalani aja ibarat air mengalir. Demikian batinku membela waktu itu.
.
Tak terasa sudah empat tahun aku bekerja di kota metropolitan ini.. Secara materi semua sudah aku raih. Handphone sudah tipe terbaru. Aku sudah punya laptop. Dan sudah ada investasi kecil-kecilan di reksanadana. Tiap bulan tak lupa aku bersedekah dan mengirim ke orangtua di kampung. Alhamdulilah secara materi aku diberi sama yang diatas rezki yang lebih dari cukup. Cuma rumah belum sempat aku terpikir untuk membelinya.. biarlah suatu saat nanti ketika aku sudah berkeluarga, kami merencanakan itu nanti semua berdua. Demikian harapan batinku.

Menjelang datang libur lebaran, kegalauan dihati tak bisa diendapkan. Seperti kepulangan tahun-tahun kemarin, semua keluarga menanyakan siapakah gerangan calon aku. Waktu itu aku masih bisa berkelit dari pertanyaan itu semua. Aku cukup bilang, ‘ aku masih muda dan masih menata karir dulu.’ Orang tua dan sanak famili dikampungpun maklum akan alasanku. Tapi sekarang rasanya alasan itu sulit aku kemukan apalagi aku sudah mendekati kepala tiga. Dari segi materi sudah lebih dari cukup. Bahkan ada satu keluargaku menimpali tak kala aku bilang, ‘aku belum punya uang om buat kawin.’

“Nikah itu tidak perlu uang banyak, yang penting keikhlasan dari pasangan masing-masing dan niatnya karena apa?. Kalau buat materi yang sampai tuapun ga bakalan kawin-kawin. Tapi kalau niatnya karena Allah SWT, sekarangpun bisa kawin dan Allah pasti memudahkan jalan kita sepanajang niat kita baik. Om dulu kamu pikir punya uang banyak ketika menikah. Salah. Boleh dibilang Om tidak punya uang banyak. Tapi alhamdulillah setelah menikah kehidupan om dengan tantemu boleh dibilang lebih dari cukup. Dan alhamdulillah pula tantemu juga mau ikhlas dan ridha hidup bersama om. Ia tidak pernah mengeluh akan kondisi om. Kalau om ceritain semua ke kamu mulai dari kehidupan om bersama tantemu dari nol – mungkin kamu tidak percaya. Tapi itulah Allah itu menempati janjinya, kehidupan om bersama tantemu selalu dicukupkan olehNya. Karena memang niat awal kami menikah karena mencari ridha Allah. Kalau kami hanya mendahulukan materi, mungkin kami tidak bakalan menikah – atau kalau menikahpun sungguh kehidupan yang penuh dengan hedonisme semata.” Demikian kuliah yang disampaikan omku ketika terakhir aku pulang ke kampung.

Dalam lamunanku, tiba-tiba handphoneku berdering. Panggilan dari rumah. Aku menghela napas panjang. Tombol terima panggilan kupencet, seketika itu juga handphone sudah berada di telingaku sebelah kanan. Suara yang sangat khas sekali. Ya suara ibu yang sangat rindu akan anaknya.. “Nak, kapan kamu pulang? Kamu sudah libur khan? Kalau sudah libur pulanglah Nak. Kami di kampung rindukan kamu.”

Aku tak sangup membantah kata-kata ibuku lagi. “Iya bu, InsyaAllah sebelum lebaran aku pulang.” Gundah gulana semua bercampur dengan rasa rindu sama keluarga di kampung. Kutatap langit-langit dikamar kosku. Air mata tak kuasa jatuh membasahi pipiku yang sudah mulai menua. Rencana untuk tidak mudik lebaran terpaksa aku batalkan. Aku tahu apa yang akan aku hadapi dikampung kelak.

Aku juga teringat kisah yang sama juga menimpa teman sejawatku. Dia sebenarnya merasa galau pulang ke kampung halamannya. Dia rindu. Bahkan sebenarnya sangat rindu pulang ke kampung halaman. Cuman ada satu soal, dimana iapun merasa galau menghadapi pertanyaan keluarga di kampung. “Kapan menikah? Sudah punya calon? Maukah menikah dengan anak si anu,?”

Pertanyaan demi pertanyaan yang membuatnya tertekan. Ada isyarat ia tak lakulah atau apalah pameo yang dilekatkan padanya. Dia dianggap tidak mampu dan harus dijodohkan. Sehingganya dia harus menerima pilihan atau dia akan didesak terus untuk soal itu. Hatinya mendua antara kerinduan akan kampung halaman dan rentetan pertanyaan maukah kawin dengan anak si anu atau anak si fulan. Dia baik lho, Dia cantik. Dia tampan. Sudah bekerja. Begitulah promosi-promosi yang seolah menyudutkan dirinya.
***

Kata-kata omku dua tahun yang lalu masih teriang ditelingaku. Tahun kemarin aku tidak mudik ke kampung dengan alasan banyak perkerjaan dan tidak bisa ditinggalkan. Padahal, itu Cuma alasan saja untuk menghindar dari pertanyaan orang-orang dikampung. Yah pertanyaan yang sudah bisa ditebak buat seumuran dengan aku. :”sudah punya calon? Kapan menikah? Atau mau ga menikah sama si anu? Yang rentetan pertanyaan bakalan bergelanyut di pikiranku untuk menjawabnya. Pertanyaan yang hampir sama dari rumah satu ke rumah yang satu lagi di kampungku.
Cuma kalau aku sampai bilang belum punya calon, mungkin orangtua dan sanak famili sudah banyak yang mencarikan jodoh buat diriku. Bahkan ketika, tahun kemarin aku tidak jadi mudik, orang tua sudah menanyai calonku, kebetulan beliau ada kenalan dan ia memiliki anak gadis dan mau menjodohkan dengan diriku.

Antara dua buah hati yang terbelah menolak atau menerima. Menerima seolah aku terbentuk image seperti dizaman siti nurbaya. Menolak seolah aku begitu sombong dan tidak mau mensyukuri..Salah kah diriku untuk memilih calon yang sesuai dengan hati ini? Demikianlah, sehingganya aku tahun kemarin bermenung didalam kamar kontrakan berkukuran empat kali empat meter. Tak kala malam takbiran datang, kumadang tahmid, tahlil talu bertalu di seluruh pelosok negri ini. Hatiku rindu akan kampung halaman. Sementara hatiku juga galau ditanyai calonku dan kapan kawin. Dua perasaan bak pedang bermata dua.
***
Jakarta, Ramadhan 1429 H

cerpen

Menelusuri Impian
By Amatovan

Sampai saat ini aku masih merindukan cinta suciku itu kembali pada diriku. Entah kenapa hari demi hari aku belum juga menunjukkan cinta suciku pada sang kekasihku. Aku tahu betapa ia sangat mencintaiku.

Setiap hari aku hanya memikirkan diriku. Aku memikirkan karirku, aku sibuk dengan rutinitas harianku. Berangkat pagi pulang larut malam. Setumpuk kertas kerja di kantorku benar-benar membuatku untuk sesaat sedikit melupakan cintaku.

Apalagi yang aku cari? Aku bingung sendiri. Sudah tak terasa waktu cepat berlalu. Terasa waktu cepat sekali berputar. Rasanya baru kemarin aku lulus kuliah dan bisa menamatkan untuk waktu empat tahun. Bagiku itu prestasi yang luar biasa. Aku mensyukuri itu. Sebelum aku berhasil menamatkan kesarjanaanku, aku bersama teman-teman sekuliahku saling berikrar mengucapkan janji untuk menamatkan secepatnya gelar kesarjanaan kita masing-masing. Dan yang terlintas dalam pikiran kami waktu itu hanyalah bagaimana dapat pekerjaan setelah lulus kuliah.

Semua teman terdekatku itu telah berhasil mendapat perkejaan bagus yang tentu dengan gaji yang wah. Ada yang sudah menjadi dosen, pengusaha dan juga penulis terkenal. Kami semua tinggal berlainan kota. Aku sendiri semenjak menamatkan kuliah merantau ke negeri sebarang..

Temanku yang berprofesi sebagai dosenpun juga sudah mengambil gelar master di negri kangguru. Dia mengambil spesifikasi pengajaran bahasa inggris. Sementara yang jadi pengusaha juga sudah mengambil program strata dua di salah satu universtas islam. Yang menjadi penulis, ketika aku tanyakan apakah ngak berniat untuk melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi. Ketika pertanyaan itu aku ajukan dia hanya menggeleng-gelengkan kepala. Memang teman ku yang satu ini punya pandangan sendiri tentang pendiidikan. Dia mengangap pendidikan itu tidak harus di bangku universitas. Gelar master bagi dia belum merupakan cita-cita yang harus dia raih. Dia berangapan pendidikan yang sebenarnya itu terdapat di alam. Dia memang mempunyai philosophi hidup “alam takambang jadi guru.’ Sebuah pepatah dari negri minang yang berarti universitas yang sebenarnya yaitu alam itu sendiri. Belajar dari alam beserta isinya. Pernah suatu ketika aku tersadar dengan kata-katanya. Setiap orang itu kita bisa ambil manfaat dan ilmunya. Begitu juga phenomena alam. Bergaul dengan tukang jamu misalnya, bukan berarti kita merendahakan pergaulan kita. Dari situ kita bisa mengambil pelajaran bagaimana meeka memulai usahanya. Pintar-pintar kita menyerap ilmunya. Demikian temanku itu berpendapat.

Sementara aku sendiri belum juga menyelesaikan strata dua. Niatku belum juga kesampaian. Entahlah suatu waktu nanti aku masih mengimpikan bisa mengecap jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Bukankah pendidikan itu sepanjang hayat dikandung badan. Aku berpikiran tidak boleh patah semanagat. Azzamku sudah kuat, ya suatu waktu nanti aku harus meraih gelar yang tertinggi.

***
Tak terasa sudah hampir enam tahun aku berada di kota metropolitan ini. Kota yang dipenuhi oleh beragam corak manusia. Ya, kota ini juga merupakan kota tujuan bagi orang-orang daerah untuk mencari perkerjaan. Terkadang aku juga berpikir, kenapa kota ini bak magnet bagi ribuan pencari kerja. Bahkan sarjana-sarjana pada kumpul di kota ini. Daerah- daerah semakin tertinggal. Para sarjananya sudah hijrah ke kota. Tidak ada yang membangun daerah.

Sementara aku juga berbuat demikian. Aku ikut hijrah ke kota besar. Setelah setahun aku bertahan didaerahku. Pekejaan yang aku dambakan tak kunjug datang. Maka atas nasehat dari sahabatku, akupun melangkahkan kaki kekota ini.

Ketika aku menginjakkan kaki di kota ini. Aku merasa asing. Tidak ada tempat mengadu maupun mengeluhkan keadaanku. Yang aku rasakan kota ini sangat berbeda dengan kampungku. Disini orang tidak mau tahu dengan kita. Siapa lu siapa gue. Ya prinsip itulah yang aku terkesima dibuatnya. Ada cultural shock dalam diriku waktu pertama datang.

Kesendirianku membuatku semakin terasing di kota ini. Sakit senang tiada yang tahu. Tidak jua kepada siapa-siapa aku keluhkan. Enam bulan sesudah aku tinggal dikota ini, barulah aku mengenalnya dengan sungguh-sungguh. Dia hadir bak menyelamatkan hidupku. Barulah aku sadar bahwa sesungguhnya dia sangat mencintaiku.

Setiap malam aku mendatanginya. Bercengkrama bersamanya. Hembusan angin yang dinggin tak terasa merayap dikulitku yang tipis. Ingin malam demi malam aku mengunjunginya. Berkeluh kesah kepadanya. Karena aku tahu betapa ia sebenarnya mencintaiku.

Betapa bodohnya diri ini, aku belum juga sempurna mencintainya. Kembali gemerlap dunia membutakan mata hatiku. Siang malam aku sibuk mencari dunia. Uang. Ya itulah yang ada dalam pikiranku. Aku berusaha mati-matian mengumpulkan uang. Aku berpikiran sekarang uang adalah segala-galanya. Ingin kuliah harus punya uang. Ingin punya mobil, harus punya uang banyak. Begitu juga kalau ingin istri yang cantik, cukup dengan uang banyak, pasti banyak yang ngantri sama kita.

Kembali aku melupakan dirinya. Aku sekarang benar-benar pemburu dunia. Tiada lagi waktu buat dia. Malampun aku lewatkan untuk mengais rezeki. Padahal, ia sangat menantikan kehadiranku. Ia ingin cintaku betul-betul sempurna dilabuhkan kepadanya.

Tetapi kekonyolanku, tidak mempedulikan ini semua. Pikiranku seolah digiring bahwa cinta bisa dibeli dengan uang. Sementara bagi dia, uang bukanlah segala-galanyanya. Kalau mau dia sendiri bisa memberiku uang. Tapi begitulah. Aku lupa. Aku khilaf. Bahkan aku zhalim terhadap diriku sendiri. Tubuhku kadang protes, kenapa dia terus dipaksa untuk mencari uang. Dia juga butuh aktifitas yang lain. Mata ini juga butuh untuk membaca surat-surat darinya. Tetapi aku mengindahkannya. Aku mengesampingkannya. Surat-surat darinya tidak pernah aku baca. Aku sibuk. Saking parahnya, pulang sudah larut malam, bahkan sampai lupa membuka sepatu ketika aku tertidur.

Maafkanlah diriku. Bukan maksud aku tak mau mencintaimu. Godaan demi godaan seolah semakin deras datang menghampiriku. Aku ini lemah. Kadang aku terpeleset dan terjatuh. Pernah suatu ketika, aku hampir saja berselingkuh. Tapi aku segera ingat cintamu padaku. Aku tak bisa mengkhianati cintamu.

Aku butuh engkau selalu mendampingiku. Aku lemah. Aku kadang tak berdaya menghadapi godaan demi godaan ini. Ditengah kesendirianku, pernah terlintas dalam pikiranku untuk berselingkuh. Apalagi sebangsa diriku, tentulah sangat gampang untuk melakukan hal itu. Ditunjang lagi, didaerah ku ini sudah lumrah untuk berselingkuh. Tempat-tempat untuk menumpahkan hasrat yang terpendam itu sangat menjamur disini. Bahkan mereka menjajakannya dipinggir jalan. Sungguh sangat gampang dipetik kalau aku mau.

Pernah suatu malam, entah pikiran apa yang merasuki diriku. Aku bersama temanku keluar mengendarai motor. Maksud kami hanya untuk menghirup udara malam. Iseng-iseng buat mengusir kejenuhan sehabis bekerja. Kamipun menyusuri jalanan kota. Tepatnya di alun-alun kota sudah berjejer motor dengan sepasang kekasihnya diatas jok. Entah apa yang mereka perbincangkan. Barangkali mereka sedang mengucapkan janji sumpah setia. Kelihatan mereka begitu mesra. Mereka memadu kaish sambil berangkulan. Pemandangan itu sudah umum di kota ini.

Motor kami terus menyusuri sudut kota. Tampak gadis-gadis berparas ayu bergerombolan dipinggir jalan. Dari pakaiannya kelihatan sekali mereka sangat muda dan cantik. Entahlah sedang apa mereka malam-malam begini. Temanku menawarkan gadis-gadis itu untuk dipetik. Batinku mulai membuncah. Aku teraingat akan cintamu. Sementara siapa yang tak tahan melihat gadis-gadis secantik itu. Syukurlah, cinta sucimu menguatkanku untuk tidak memetik gadis-gadis itu. Aku ingatkan kepada temanku maksud kita hanyalah untuk melihat-lihat suasana malam. Bukan terjun dan bergumul dalam kehidupan malam itu sendiri.

Sesampainya aku dirumah entah ada yang menggiring diriku, ingin segera membaca surat-suratmu. Aku ingin merasakan bercinta dengan mu lewat surat-suratmu ini. Malam ini aku ingin bersama mu. Aku rindu padamu. Aku ingin mencintaimu dengan sepenuh hati. Aku ini hanyalah milikmu. Aku tak mau lagi berselingkuh. Bagiku engkau lebih berharga daripada uang, mobil, rumah bertingkat dan jabatan.. Aku tak ingin mengkhianati cintamu. Aku ingin setia bersamamu hingga akhir hayatku.

***
Rajab, 1429H

cerpen

AIB
BY Khairul Azmi

Dari raut wajahnya aku bisa melihat Rina sepertinya ada masalah, Cuman aku tidak berani mendekati dia apalagi menanyai masalah yang dihadapinya. Biasanya dalam kondisi begini aku biarkan dulu ia larut dengan masalah nya baru setelah agak enakan aku beranikan bertanya padannya apa gerangan yang dia hadapi. Walaupun dia berusaha menutupi tapi dari raut wajahnya aku bisa memastikan kalau ia sedang menghadapi masalah yang berat.

“Taufik, bantuin sini donk.’ Suara Tati yang lagi butuh bantuan. Buru-buru aku menuju kearah Tati yang pagi itu sibuk memisahkan barang-barang yang reject. “Kalau aku lihat ya, ini sepertinya regu malam dech, Fik. Barang banyak yang reject ini. Kalau kita paksakan kirim ini barang, nanti customer malah ga percaya lagi sama kualitas barang kita,”komentar Tati. “Terus kita harus bagaimana dunk, Ti. Apa perlu kita lapor ke manajer sekarang juga mengenai banyaknya barang yang reject,” usul taufik. “ Ya lho tahu sendiri bagaimana reaksi manajer kita khan.” “Iya sih Ti.” “Dia kalau ada apa-apa bisanya marah-marah saja. Bukannya cari solusi gitu. Aku juga jadi ga enak ntar ma teman-teman regu malam. Apalagi kebanyakan mereka semua kan cewek. Aku juga ga’ tegaan Fik kalau bikin laporan ke manajer. Kasihan sama anak-anak regu malam.” “So, ada usul lain ga,’ Taufik mulai tidak sabaran juga.

“Aku juga lagi bingung ini Fik.” “Gimana kalau kita lapor kepada kepala QC terlebih dahulu,’ usul Taufik. “ Bu Nurma… maksud kamu Bu Nurma,” selidik tati. “Iya bu Nurma, siapa tahu beliau mau membantu masalah kita. “Oke kalau begiitu kita langsung kesana aja yuk.”

Ketika memasuki ruangan Bu Nurma, kelihatan Bu Nurma sedang meneliti kualitas barang dengan cekatan. Bu nurma sudah berpuluh tahun bekerja di pabrik ini. Walau beliau uda mau masuk kepala enampuluhan, tetapi skill dan pengalaman beliau masih sangat dibutuhkan di perusahaan ini. Barangkali Bu Nurma orangnya telaten gitu, maka untuk bagian-bagian yang strategis tersebut memang pantas dipegang oleh Bu Nurma. Disamping itu Bu Nurma ditengah usia nya yang sudah ga muda lagi itu tetapi masih kelihatan sehat dan bugar. Pernah suatu kesempatan aku bercanda nanyain apa sih rahasia Bu Nurma masih kelihatan sehat dan bugar. Beliau menjawab kalau sering menjaga kondisi tubuhnya dengan olahraga dan minum ramuan tradiosional. Dan yang bikin aku kagum ama beliau yaitu cara berpikir dan bicaranya masih kelihatan brillian dan penuh semangat.

Dulu sewaktu aku sakit, Bu Nurma sedikit banyak ikut memberi semangat buat kesembuhan penyakitku. Bahkan beliau pernah mengirimkan obat-obatan atau semacam jamu-jamuan gitu buat aku. Padahal aku tidak pernah pesan. Itulah tadi Bu Nurma seorang manusia yang bagi diriku ibarat sosok kharismatik, penuh dengan keteladanan tetapi tetap merendah walau ilmu dan pengalamanya sudah diatas rata-rata karyawan dipabrik ini.


Setelah mengucapkan salam, kedua mata Bu nurma mengarah kepada kami. Seketika Bu nurma meletakkan barang yang sedang dipegang ditanganya. Beliau pun beranjak dari tempat dia meneliti barang dan menghampiri kami. “Selamat pagi Bu. Bisa kami minta waktunya sebentar Bu,” pinta kami kepada Bu Nurma. Kemudian Bu Nurma mempersilahkan kami duduk diruang beliau. “Ada apa Tati, Taufik, tumben kalian berdua keruangan saya. Apa ada masalah?” “Begini Bu Nurma, Tati membuka maksud apa kedatangan mereka menemui Bu Nurma. Setelah Tati menceritakan masalahnya barulah Bu Nurma mulai paham. “Oke, coba saya cek dulu barang tersebut,” selidik Bu Nurma. Kemudia dengan diiringi Tati dan Taufik, Bu Nurma menuju ruangan warehouse dimana barang tersebut ditempatkan. Setelah mengecek kondisi barang akhirnya Bu Nurma pun memberitahukan kepada Tati dan Taufik kalau barang tersebut tidak boleh dikirim, karena bisa merusak citra perusahaan kita. “Nanti saya akan coba bantu menjelaskan kepada manajemen mengenai barang yang reject ini. Tati, kamu coba hitung semua berapa jumlah barang yang reject”, pinta Bu Nurma kepada Tati. ‘Baik Bu, sekarang saya cek lagi”. Sementara kami sibuk mengecek barang yang reject, aku masih sempat melihat wajah Rina sudah tidak seperti tadi pagi. Kebetulan pagi itu dia lagi mengepack barang-barang di ruangan warehouse Dia sudah larut dengan pekerjaannya. Barangkali karena kesibukannya pagi tersebut dia sedikit bisa melupakan masalahnya.

“Jadi semuanya ada delapan karton bu Nur,” lapor Tati kepada bu Nur. “Oke nanti kalian tidak usah khawatir, nanti saya langsung menghadap ke manajer menjelaskan persoalan ini dan kalian kembali lagi bekerja seperti biasa.” “Iya bu’.. Kemudian Bu Nur beranjak dari pandangan kami menuju ke ruangan manajer pabrik. Kamipun kembali meneruskan sisa perkerjaan yang belum selesai

Siang itu aku sengaja makan siang dekat Tati. “Tumben kamu makan siang satu meja ama aku. Biasanya kamu makan sama si Dodi,” selidik Tati. “Iya nie, aku pingin ngobrol ma kamu. Bisanya kan habis makan siang ini”. “Mengenai apa.’ Tati mulai ga sabar mendengar gerangan apa yang ingin disampaikan Taufik. “Apa mengenai barang yang reject tadi..” “Bukan itu, bukan mengenai yang tadi.” “Trus kamu mau ngomong apa,” Tati dengan penuh keheranan. “Begini, kamu perhatiin ga tadi perubahan wajah si Rina tadi pagi pas masuk. Kalau aku lihat sih tidak seperti biasanya. Kelihatan dia lagi ada masalah berat. Cuma aku tidak tahu apa masalahnya.” “Hmm..”Tati sepertinya mulai curiga dan menggoda aku. “Jangan-jangan kamu ada perhatian ini sama Rina. Hehehe…”, seloroh Tati. ”Wah bukan begitu, kalau perhatian ya iyalah Tati, kan Rina juga sahabat aku seperti kamu juga sahabat aku. Kalau ada masalah sebisa aku, pasti aku mau bantu. Bukankah begitu artinya sahabat.’ . “Iya, tapi kok yang aku rasakan perhatian kamu ke Rina lebih deh dari sahabat. Ayo terus terang saja lah sama aku, kalau kamu sedang jatuh cinta sama Rina.” Seketika itu juga jantungku mulai berdeguk kencang, ko’ bisa-bisanya si tati ngomong to the point kayak gitu.

Kalau melihat kecantikan si Rina, siapa sih kalau tidak suka sama dia. Kalau aku lihat sih dia orangnya baik, ramah, santun habis itu cantik lagi. Apalagi yang aku senangin ama dia tuh, kalau bicara kelihatan senyuman kecil dibibirnya yang bisa mengugah hati para lelaki kepadanya. Namun buru-buru aku kendalikan emosi, kan dia sudah punya pacar, masak sih dia mau sama aku. Lagian aku juga ga enak merebut pacar orang, hibur aku.

“Nah tuh, benar kan, kamu lagi ada hati sama si Rina. Jadinya kamu ngelamun. “Kamu mikirin dia yah. Kamu sih telat, dulu kamu pas dia lagi kosong kamu ga mau, sekarang dia sudah ada cowok nya, kamu kepingin ma dia. Kamu ini gimana sih,” lanjut Tati. “Bukan begitu Tati, kan kamu tahu sendiri, aku tidak mau pacaran gitu, jadi yah bukan style aku kalau pacaran-pacaran ala abg sekarang. Dalam kamusku tidak ada istilah pacaran, yang ada hanya taaruf, jenjang untuk melangkah ke arah yang serius. Jadi taaruf itu kita saling mengenal diri pribadi masing-masing, mengenal keluarga masing-masing. Dan sedapat mungkin kalau jalan harus ada pihak ketiga gitu. Jadi pacaran itu bukan berarti kita harus selalu jalan bareng berdua, tiap malam minggu pergi ke bioskop dan diselingi dengan kissing sebagai ungkapan rasa kasih saying,’ lanjutku dengan penuh semangat..

“Trus kamu ngomongin Rina, maksud kamu apa,” Selidik Tati. “Begini, kamu kan cewek, dan yang paling dekat lah sama si Rina, kamu coba bantuin dia deh, coba kamu hibur, kira-kira masalah yang dia hadapi apa?”

“Ga mau ah, kamu aja sendiri nanya sama Rina.” “Bukan begitu aku khawatir si Rinanya ga mau cerita masalahnya sama aku. Mungkin ada sifatnya pribadi. Aku Cuma pingin kamu hibur dia, mana tahu setelah dia cerita masalahnya ke kamu bisa mengurangi beban masalahnya,” pinta Taufik. “Oke lah ntar malam coba nanti aku bicarakan sama Rina,” balas Tati.

Rina dalam kesendirian nya itu tampak kembali sedih mengingat peristiwa yang sudah menimpanya. Rina adalah anak sulung dari tiga bersaudara. Adik nya masih sekolah. Yang nomor dua cewek, sekolah di salah satu SMU di pulau Jawa. Adiknya yang bungsu, cowok masih duduk di bangku SMP. Sementara orangtua Rina adalah buruh tani. Selepas Rina menamatkan sekolah SMU nya di pulau Jawa, dia langsung dapat pekerjaan di salah satu pusat industri di kota Karawang. Maklum sekolahnya telah menjalin kerjasama dengan perusahaan-perusahaan yang ada di kota Karawang. Jadi para siswa setelah tamat tidak bingung mau mencari pekerjaan. Dan Rina termasuk beruntung bisa sekolah di SMU tempatnya menuntut ilmu. Apalagi kalau keadaan kayak dia, mau meneruskan ke perguruan tinggi tentu bagi Rina saat itu tidak mungkin. Apalagi kondisi keluarganya yang berpendapatan menengah kebawah. Belum lagi kalau biaya untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi di negara ini sangat tinggi.
Mendingan aku bekerja saja sekalian bisa Bantu adik-adiku,’ demikina bisik hatinya menguatkan niatnya untuk memilih bekerja ketimbang melanjutkan pendidikannya ke strata yang lebih tinggi. Toh, selagi bekerja aku masih bisa melanjutkan pendidikan lagi. Yang terpenting bagiku saat ini bagaimana membantu si mbokku dan bapakku. Aku ga tega melihat Bapakku membanting tulang menghidupi kami” batin Rina.

Dan malam itu dia kembali mengingat perjuangannya sebelum datang ke kota ini dan bagaimana ia mengenal Randi yangs sekarang menjadi pacarnya. Dan peristiwa yang telah menimpanya malam minggu kemarin bersama Randi. Air mata nya tiba-tiba meleleh di kedua pipinya yang lesung pipit tersebut.. Matanya berkaca-kaca. Ada rasa penyesalan yang dalam menghimpit Rina, Cuma ia tak kuasa melepaskannya.

“Assalamualaikum,’tiba-tiba suara di seberang pintu membuyarkan lamunan Rina. “Waalaikumsalam.” Rina buru-buru menghapus air matanya seraya membukakan pintu. ‘Oh kamu Ti,’ rina mempersilahkan Tati masuk. “Na, kamu kenapa,” Tanya tati. “Kamu habis nangis ya.”.”Ga kok,’ rina berusaha menyembunyikan perasaannya. “Tapi kok aku lihat kamu habis nangis dech, tuh mata kamu juga masih kelihatan bengkak. Kamu ga usah bohong ya ama aku. Kan aku dan kamu ini dah ibarat saudaralah. Kalau kamu ada masalah ceritalah ma aku Na, mana tahu aku bisa bantu kamu,” bujuk Tati. “Ga kok ti, aku baik-baik aja, ga ada masalah,’ hibur Rina.

Rina dan Tati adalah sama-sama satu sekolahan di pulau Jawa. Mereka juga sama-sama mengadu nasib sebagai buruh di kota Karawang. Rina memilih hidup sendiri atau ngekos. Sementara Tati tinggal bersama kakaknya yang sudah duluan datang kekota ini

“Tadi pagi aku sempat melihat kamu. Kayaknya kamu ada masalah,” lanjut Tati. “Cuma aku ga sempat ngobrol ma kamu tadi pagi. Kan kamu tahu sendiri aku tadi ada masalah, barang banyak yang reject. Makanya aku ke tempat kamu. Kalau kamu sedih aku juga ikut merasakannya Na,” lirih Tati.

Rina kembali mengingat perjalanan hidupnya hingga terdampar di kota ini. Bagaimana waktu itu dia bersama Tati dengan penuh semangat mendaftarkan diri lewat sekolahnya untuk bekerja di salah satu pabrik di kota karawang. Masih teringat percakapan mereka sewaktu dibangku sekolah sewaktu menunggu giliran mereka interview yang dilakukan oleh pihak perusahan yang sengaja datang langsung kesekolah mereka.

‘Na, seandainya kamu diterima bekerja disana gimana?’ Tanya tati. “Yah aku terima lah Ti, Tapi aku mau kita berdua lulus diterima bekerja disana yah. Kamu kan sahabat aku, jadi aku ga mau pisah sama kamu Ti.’ Begitu mesra dan akrabnya mereka ketika saat itu menunggu giliran diinterview. “Ya semoga ya Na,’ harap Tati.. “Trus kamu punya rencana hidup setelah diterima nanti.Apa kamu sanggup jauh dari keluargamu.,’ lanjut Tati. “Sedih pastilah Ti, Cuma aku sudah bertekad dalam batin ini untuk meringankan perjuangan si Mbok dan Bapaku. Mereka sudah tua, Ti. Aku kasihan ma mereka. Ku juga pingin bantu adik-adiku yang butuh biaya sekolah. Kamu kan tahu sendiri biaya pendidikan dizaman sekarang ini kan mahal. Adik-adiku juga perlu buku pelajaran dan uang transportasi ke sekolahnya. Kasihan juga kan kalau mereka jalan kaki dari rumah ke sekolah, apalagi jarak rumahku kesekolah mereka cukup jauh juga.” Itulah tekad yang tertanam di hati Rina waktu itu.

Kembali air mata Rina tak kuasa keluar. Dia teringat si Mbok, dia teringat sama Bapaknya yang pagi-pagi buta udah ke sawah. Dia teringat pagi-pagi adik-adiknya siap berangkat sekolah. Dan seketika itu juga terbayang penyesalan yang sangat dalam terhadap kejadian malam minggu bersama Randi. Pipinya yang putih dibasahi oleh air matanya yang tak henti-hentinya keluar. Dan tak kuasa ia menahannya ia merangkul Tati sahabat shohibnya. “Aku makluk yang paling Hina Ti, aku hina… hina…Ti, sambil memeluk Tati sahabatnya. Air mata terus bercucuran hingga membasahi pundaknya Tati. “Maksud kamu, Tati dengan penuh keheranan. “Aku tak layak hidup, aku harus mengakhiri hidup ini…”Sstt, jangan ngomong gitu, Na,” bujuk Tati. “Emang kamu ada salah apa na, kok sampai ngomong gitu.” “:Aku menyesal Ti, benar-benar menyesal. Tapi nasi telah jadi bubur, aku harus bagaimana?” “Ceritalah kejadian apa yang menimpa kamu,” Tati mencoba untuk mengerti keadaan Rina.

Sambil terisak-isak Rina menceritakan malam kejadian itu. “Seperti biasa Ti, layaknya orang pacaran, malam minggu itu Randi datang kekosanku ini. Namanya anak kos tidak ada yang mengawasi apa yang kami perbuat Ti. Awalnya sih biasa-biasa aja. Apalagi anak kos disini juga banyak didatangi oleh cowok-cowok mereka. Malam itu Randi datang dengan motor gedenya ke kosan ku ini. Kira-kira jam delapanan. Setengah jam kemudian aku diajak jalan-jalan keluar ma Randi. Yah namanya orang pacaran aku hayo aja, Ti. Awalnya emang aku begitu merasakan kemesraan bersama Randi, apalagi dibonceng dengan motor gedenya itu, jadi aku berpegangan ma Randi. Entah setan apa yang merasuk kami seolah saya telah kehilangan kendali. Aku merasakan begitu dekat dan mesranya bisa dekat selalu bersama Randi,” Rina menceritakan sambil terisak-isak. Sementara Tati mendengarkannya seolah tidak mau melewatkan setiap peristiwa yang dilalui Rina bersama Randi. “Sekembalinya kami jalan-jalan dari luar, Randi belum pulang, waktu itu sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Dalam batinku juga ga mau Randi pulang. Aku masih menikmati kebersaam bersama Randi. Mungkin itulah yang dinamakan setan, Ti,” lanjut rina. “Ketika kita asyik nonton film, ntah setan apa yang mendorong kami, tangan Randi melingkar dipundakku. Dan aku seolah tidak berontak Ti,. Suasana semakin larut, aku hanyut terbawa emosi. Beberapa ciuman singgah di kening dan pipiku. Dan randi mulai beranikan dirinya menjamah seluruh tubuhku. Awalnya aku menolak. “Jangan randi, kita belum pasangan yang sah, berdosa.” Begitu pembelaanku waktu itu, ingin menyadarkan apa yang tengah kita lakukan. Tapi aku tak berdaya, Ti. Setan terkutuk itu telah menyeretku ke lubang yang paling nestapa kesekalipun. Saat-saat itulah aku tak bardaya menahannya Ti, ketika Randi bilang, “I love you, Na. Aku sangat menyayangi kamu, Na.” “Disaat itulah Ti. Aku juga hanyut sama suasana waktu, aku juga dah lepas kendali. Kamipun menikmati kemesraan di waktu itu hingga, sehingga terjadilah apa yang seharusnya tidak boleh kami lakukan Ti. “Nauzubillah,” Tati dengan kagetnya mendengarkan peristiwa yang menimpa sahabatnya ini. “Aku kotor Ti, aku hina….hina..sambil memberontak memukul-mukul dadanya. “Sudahlah Na, semuanya sudah terjadi”. “Aku menyesal Ti,….menyesal,” sambil memeluk kembali Tati sahabat yang telah menjadi tempat saling berbaginya.

“Aku baru sadar akan kata-katamu Ti. Dulu ketika kamu nasehati aku mengenai hubungan aku ma Randi, aku malah cuek saja,” Rina dengan suara terbata-bata. Ternyata beginilah akibatnya Ti. Aku malu ti, aku seolah sudah tak berharga lagi Ti.” ”Aku mengerti posisimu Na, sudahlah yang berlalu biarlah berlalu, sekarang kau tatap hari depanmu. Bukankan Allah itu maha penerima tobat kalau hambanya benar-benar bertaubat,” Tati coba menghibur sahabatnya ini. “

Terbayang wajah si mboknya dikampung, terbayang bapaknya yang kurus tanpa lelah bekerja seharian ditengah terik matahari. Badannya yang kurus tampak kehitaman selalu disengat panasnya matahari. Terbayang masa depan adik-adiknya. Terbayang hari indah yang telah dilaluinya. Terbayang masa depannya yang sudah hancur ketika malam minggu bersama Randi.. Mbok maafkan aku, Bapak maafkan anakmu ini yang tidak bisa menjaga diri. Ya Tuhan ampunilah diriku ini, batinnya dalam hati.
***

Karawang, Mei 2008

cerpen

Ketika Cinta Tak Kunjung Dipetik

By Khairul Azmi


“Kalau rezki abang belum ada disini, mudah-mudahan Allah menyiapkan di daerah lain,” kata-kata itu selalu teringiang ditelinga syarif. Semenjak pertemuan di perpustakaan kampus ada azzam yang kuat dalam sanubari syarif kalau dia tidak boleh menyerah. Gelar sarjana yang dia sandang harus bermanfaat dan tidak boleh tergolek tanpa ada yang menghargai.

Sudah hampir setahun syarif menamatkan gelar kesarjanaannya di salah satu Universitas tertua di pulau sumatera. Kerja yang diidam-idamkannya belum juga kunjung tiba. Udah puluhan surat lamaran dikirim syarif ke berbagai instansi. Tapi tak ada satupun yang nyangkut. Sempat pula dia mengikuti berbagai tes penerimaan calon pegawai negri sipil di negri ini. Pikirnya barangkali ada nasib di instansi pemerintahan. Apalagi tes sebagai pegawai negri sipil sudah mulai bersih dan tentu menurut dia bakal ada peluang. Lain kalau beberapa tahun sebelumnya, tidak sedikit dia mendengar dari tetangga kalau mau masuk pegawai negri sipil harus menyiapkan segopok uang yang tidak sedikit pula nilainya. Bahkan ada anak tetangganya yang rela menjual sawah nya untuk memuluskan niatnya masuk pegawai negri.

Berbagai tes telah dilakukannya. Ada tes pegawai di dinas pariwisata. Ada tes di universitas. Ada tes di bank. Terakhir dia mencoba peruntungan di hotel berbintang lima. Setelah menunggu beberapa hari semenjak wawancara terakhir belum juga ada panggilan. Pasrah. Dia hampir kehilangan semangat. Sempat dia berpikir apa gunanya dia kuliah capek-capek beberapa tahun, toh mencari pekerjaan tetap saja sulit. Dia menyalahkan pendidikan. Dia menyalahkan universitasnya. Dia menyalahkan pemerintah. Dia menyalahkan dirinya sendiri. Yang dia kesalkan kenapa tidak ada investasi di negrinya sehinga banyak berdiri perusahaan atau paling tidak dia tidak harus bersusah payah mencari pekerjaan. Setiap tahun universitas melahirkan ribuan sarjana tapi lowongan pekerjaan yang tersedi cuma puluhan. Ironis. Kembali dia hanya pasrah.

Tapi kata-kata Mila di perpustakan itu kembali menguatkan azzamnya. “kalau rezki abang belum ada disini, mudah-mudahan Allah menyiapkan didaerah lain.’ Ya, kata-kata Mila ibarat pil mujarab yang telah membangunkan seekor singa yang tertidur. Dia mengaum. Dia mulai membuka mata. Kupingnya dibuka lebar-lebar. Hatinya ditata kembali. Niatnya hanya satu - tidak boleh menyerah. Pasti ada jalan. Pasti ada solusi. Bumi Allah masih luas. Masih banyak rezki yang lain.

Awal peruntungannya, Azmi memulai di daerah Medan. Dia memperoleh panggilan tes wawancara di salah satu bank swasta terkenal disana. Berangkatlah ia dari kampung halamanya menuju kota Medan. Perjalanan yang ditempuh lewat jalur darat cukup melelahkan. Sesampainnya di kota medan, syarif langsung mencari mesjid terdekat guna menunaikan ibadah shalat sekaligus mencari tempat menginap selama mengadu nasib di kota Medan. Beruntung sang pengurus mesjid berbaik hati kepada Syarif. Dia diperbolehkan tinggal sementara di ruang “garin” atau seorang penjaga mesjid.

Malam sebelum hari tes wawancara dilaksanakan, Syarif tak lupa bermunajat kepada sang penguasa alam jagat raya ini. Dia memohon jalan yang terbaik bagi karir dan masa depannya. Karena dia sadar Dia lah yang berhak menilai dimana Syarif harus berkiprah. Menurutnya dia hanya akan berusaha dan terus berusaha. Sebelum berangkat pamannya dikampung sempat menasehati dirinya, “Rif, walau kamu belum mendapatkan pekerjaan, kamu jangan patah semangat ya, kamu harus terus berusaha mencari kuncimu. Nanti dengan kunci itu lah duniamu akan terbuka.’ Beban yang dia rasakan sebagai seorang sarjana sangat berat. Apa kata orang kampung nantinya, sudah bergelar sarjana tapi toh akhirnya menjadi penganguran juga atau cuma bekerja sebagai kuli. Dia khawatir nanti dikampungnya ada pameo, orang kampung untuk enggan menyekolahkan anak mereka tinggi- tinggi kalau sarjana saja banyak yang mengangur. Dia bertekad untuk membuktikan kepada orang kampungnya. Bahwa dia bukan yang dikira semacam itu. Motivasnya juga bertambah setelah mendengar kata-kata pamanya dan juga kata-kata Mila.

Diam-diam malam itu pikirannya tertuju kepada Mila. dia sangat mengagumi Mila. Dalam batinnya dia mulai ada menaruh hati pada gadis tersebut. Ya, ada benih cinta dalam hatinya. Dia tidak berani mengucapkan janji kepada sang gadis pujaannya. Dia menungu biarlah sang waktu yang akan mengungkapkannya. Dia percaya kalau jodoh tak kan lari kemana. Dia bertekad kalau sudah berhasil dia mau langsung memetik gadis pujaannya. Tapi sekarang, ah belum waktunya pikirnya. Buat makan dia sehari-hari saja masih mengandalkan orang tua. Dia akan menunggu waktu yang tepat dengan persiapan yang matang untuk mengutarakan maksud hatinya kepada\ Mila. Kalau memang jodoh Mila tidak akan jatuh kedalam pelukan lelaki lain.

Begitulah tekad yang membara dalam hati syarif. Keesokan harinya tes yang dilalui syarif cukup melelahkan. Ternyata pihak bank menerapkan system gugur dalam perekrutan calon karyawannya. Semuanya ada empat tahapan tes. Pertama, tes psikologi. Kedua, tes kelincahan dan kecepatan berhitung. Ketiga tes diskusi kelompok dan terakhir tes wawancara. Dan ternyata tidak sedikit para peminat yang ingin melamar di bank tersebut. Ada yang dari Lampung, Aceh, Jakarta, Padang dan Medan. Semuanya saling membuktikan diri mereka yang terbaik dan layak diterima di bank tersebut.

Tes yang cukup melelahkan. Tes pertama dia berhasil lulus. Sementara yang lain yang gagal langsung meninggalkan ruang tes. Yang diterima Cuma sepuluh orang sementara yang tinggal untuk tes kedua bejumlah seratus orang. Jadi bakalan ada sekitar sembilan puluh orang lagi yang akan pulang. Saat menungu pengumunan hasil tes terakhir, hatinya mulai tak tenang. Akhirnya keluar lah hasil pengumunan tes. Dan namanya tak tercantum dalam papan pengumuman sebagai calon karyawan yang lulus. Sedih. Terpukul dan kembali dia memasrahkan dirinya kepada Sang penciptanya. Seraya kedua tanganya diangkat, “Ya allah, hamba percaya ini adalah keputusanMu yang terbaik.’

Syarif tak berputus asa. Setelah dia mentok di kota Medan. Dia berencana kembali mengarungi bumi Indonesia. Kali ini yang bakal ditujunya adalah Jakarta. Ya kota yang menurutnya menjadi pelabuhannya selanjutnya. Maka, berangkatlah Syarif darikota Medan menuju Jakarta. Selama dalam perjalanan, tak henti-hentinya Syarif mengagung-agungkan Sang Maha Pencipta, mengakui Kemahaluasan dan rezki yang begitu luas yang terhampar. Perjalanan yang ditempuh cukup melelahkan dan mennyeberangi Laut Sunda.

Perlahan-lahan bus yang ditumpangi syarif sudah memasuki kota Jakarta. Gedung-gedung bertingkat terpampang dihadapan Syarif. Ada secercah harapan terbesit dihati syarif. Ada juga sedikit keraguan dihatinya. Dia membayangkan kompetisi yang bakal dihadapinya. Ya, kota metropolis tentu penuh dengan kompetisi dan tantangan pikirnya. Sementara dia dari daerah. Tapi segera pikiran tersebut dihalaunya dan kembali ditata niat untuk datang ke Jakarta. Ada semacam semangat. Ya, semangat untuk membuktikan diri kalau orang daerah tidak kalah kualitasnya dari orang pusat.

Tepat pukul delapan malam bus yang ditumpangi Syarif merapat diterminal Rawamangun. Baru kali ini dia menginjakan kakinya di kota Jakarta. Suara hiruk pikuk diterminal malam itu cukup ramai. Para pengemudi angkut saling berebut calon penumpang. Tidak ketinggalan para tukang ojek yang menawarkan jasanya. Dia mencoba menenangkan diri. Dia mencari toilet di dekat terminal. Wajahnya disirami dengan air. Rasa bermimpi, karena dia telah menginjakkan kakinya di kota jakarta. Setelah selesai merapikan diri. Dia merogoh saku celananya. Secarik kertas keluar dari saku celananya. Lama dia memandang isi tulisan kertas tersebut. Ya, ini adalah alamat yang akan dituju syarif. Sementara dia bakal numpang dirumah saudara sepupunya. Setelah nanya sana sini akhirnya syarif berhasil menemukan rumah saudara sepupunya. :”Assalamualaikum,’ suara syarif seraya pintu rumah diketok. “Waalaikumsalam,’ sahut suara yang punya rumah. “Wah kamu toh rif, kapan nyampai, ayo masuk.’ Saudara sepupu syarif kaget akan kedatangan syarif ke kota Jakarta. Malam itu dia dijamu dengan hidangan spesial oleh saudaranya. “Kamu jangan sungkan dirumahku ini ya, kalau ada butuh apa kamu ngomong ma aku atau ke istriku,’ demikian saudaranya ketika mereka menuju ke tempat peraduan masing-masing.

Keesokan harinya Syarif mulai bertarung, memasang kuda-kuda – memasukan surat lamaran kerjanya keberbagai instansi yang ada dijakarta. Baginya apa aja asal bisa bertahan di kota jakarta ini akan dilakoninya. Dia tak mau pulang sebagai kestaria yang kalah. Dia sudah kepalang basah. Dia malu pulang ke kampungnya sebelum berhasil. Dia kurang pede mengutarakan niatnya melamar Mila kalau belum berhasil. Itulah tekad yang tertanam dalam sanubarinya. Selama dua hari dia berpindah dari satu kantor ke kantor lainnya. Akhirnya, dia diterima juga disalah satu lembaga pendidikan sebagai admin. Yah disinilah awal mula karirnya.

Tak lupa dia sujud syukur atas nikmat ini. Paling tidak dia bisa survive terlebih dahulu pikirnya. Setelah syarif memperleh pekerjaan pertamanya dia mengutarakan niatnya untuk ngekos kepada saudaranya agar dekat dengan tempat dia bekerja.

Kebetulan tempat kosan syarif tidak terlalu jauh dari mesjid. Sehinga sehabis pulang bekerja dia tidak pernah melewatkan panggilan suara azan magrib dan isya. Begitu juga subuh, suara murattal di pagi buta itu telah memberikannya semangat baru untuk lebih mendekatkan diri kepada Sang Khaliknya. Tak lupa ia juga mengerjakan puasa sunnah senin kamis. Tak terasa sudah enam bulan syarif berada di Jakarta. Dan dia sudah bisa mengirimnkan sedikit rezkinya ke kampung halamnya buat ibundannya tercinta.

Sementara itu semangat syarif tak pernah pudar. Dia terus mencari informasi mengenai lowongan pekejaan. Tepatnya bulan ketujuh syarif di Jakarta, dia dipangil wawancara oleh sebuah perusahaan multinasional untuk level staf. Malam sebelum hari wawancara Syarif mendatangi sang pemilik alam jagat raya ini. Dia ingin mengetuk pintuNya. Berharap petunjuk terbaik yang akan diberikanNya kepadanya. Siangnya tepat pukul sembilan syarif sudah berada di ruang lobby perusahan tersebut. Setelah melapor, syarif dituntun keruang manajer personalia oleh salah seoarang staf perusahaan. Setelah tes seharian penuh dan melelahkan, manajer personalia tersebut menutup pembicaran meraka, “Oke, saudara Syarif, kami akan mempelajari lebih dalam lagi kualifikasi saudara dengan pihak manajemen perusahan. Kalau kualifikasi saudara memeuhi kriteria kami, saudara akan kami panggil kembali untuk berkerja di perushaam ini.’ Demikian suara sang manajer tersebut. “Baik pak, dan terima kasih atas kesempatan yang diberikan kepada saya..” Syarif pamit undur diri dari hadapan sang manajer tersebut. Diluar gedung dia kembali mengucapkan rasa syukur. Yah kalau memang baik baginya berkarir disini, mudah-mudahan Allah memudahkan jalannya, doa syarif dalam hati.

Dua minggu lamanya setelah tes wawancara di perusahaan tersebut dilewatinya. Tak ada kabar. Dia mulai bertanya apakah dia gagal atau gimana. Ditepisnya pikirannya. Dia kembali fokus kepada pekerjaan nya sekarang sebagai admin di salah satu lembaga pendidikan. Kesokan harinya handphone berdering.”Ini Bapak syarif.’ “Ya saya sendiri. “bapak diminta datang hari senin depan jam sepuluh langsung ketemu dengan manajer personalia.” Kemudian suara halus seorang wanita mngakhiri telephone tadi. Tak henti-hentinya syarif mengucapkan syukur sekaligus sujud syukur. Ya syarif diterima sebagai karyawan di sebuah perusahan multinasional untuk level staf.

Besoknya dia melapor keatasanya di lembaga pendidikan tersebut. Syarif mengutarakan niatnya untuk mengundurkan diri sebab dia diterima disalah satu perusahaan multinasional. Dia pengin sukses. Begitulah syarif berpanjang lebar pada atasannya. “Semoga kamu menjadi lebih baik lagi ya Rif,’ dukung sang atasannya. Sebenarnya atasannya sudah mengangap syarif sebagai saudara sendiri. Apalagi selama bekerja dengannya syarif menunjukkan prilaku yang sopan, santun dan tidak neko-neko. Dan syarif juga terkenal dengan karyawan yang gigih dan pekerja keras.

Akhirnya resmilah syarif tercatat sebagai salah satu staf di salah satu perusahaan multinasional. Tentu dari segi gaji dan prospek kedepannya sudah cukup menjanjikan. Apalagi gajinya diatas rata-rata perusahaan nasional. Tak terasa sudah setahun dilewatinya bekerja diperusahan multinasional tersebut. Sekarang dia sudah memiliki motor. Dari segi materi sudah mencukupi. Sementara umurnya kian hari kian bertambah.

Tiba-tiba telephone dari kampung datang. Suara perempuan dibalik telephone. “Bagaimana kabarmu, Nak. Kerjaanmu lancer?’ suara emaknya dari kampung. “:Alhamdulillah Mak, saya sehat. Keluarga di kampung gimana sehat semua.” “ Alhamdulillah kami disini ada dalam keadaan sehat semua.’ “Rif, kamu kan sudah bekerja dan sudah bisa pula membantu Emak dikampung. Sementara kamu kan juga sudah berumur. Tidak baik menungu terlalu lama,” Suara emak syarif dengan penuh pengharapan. Syarif sudah bisa menebak kearah mana pembicaraan Emaknya. “Iya emak, secepatnya syarif akan melaksanakan sunnah Rasul tersebut.’ Demikian syarif mencoba mengakhiri desakan Emaknya.

Sebelum tidur, dia teringat kata-kata Emaknya, “tidak baik menunggu terlalu lama.’ Iya dia sekarang sudah mapan. Sudah mantap untuk menikah. Ya, dihatinya hanya ada satu wanita. Ya, Mila. wanita yang telah memberikan peluru dasyat kepadanya. Wanita yang telah mencuri hatinya. Keberhasilannya sekarang ini juga tidak terlepas dari kata-kata yang diucapkan Mila.

Keesokan harinya dia mencoba menghubungi Mila. Tapi ga ada suara jawaban. Sudah hampir setahun lamanya syarif tidak berhubungan lagi dengan Mila. Maklum kesibukannya sebagai staf di perusaahan baru cukup menyita pikirannya. Dia mulai kehilangan akal. Dia mulai berpikir siapa kira-kira yang tahu nomor Mila. Akhirnya dia mendapatkan nomor telephone rumah Mila. Waktu itu yang menjawab saudara Mila. “Kak, Mila lagi ke pasar, Abang ini siapa.” Selidik suara perempuan dibalik telephone. Setelah menjelaskan siapa dirinya, telephonepun dimatikan. Selepas magrib, dia mencoba menelephone kembali Mila. ‘Oia, bentar ya kak,’ suara dibalik gagang telephone segera memangil Mila. Kemudian tak lama mereka pun bebicara lewat telephone. Syarif dengan sedikit berbasa basi menanyai kabar Mila. Syarifpun sudah bertekad kalau dia sudah memiliki karir yang mantap dia akan melamar Mila. sekarang waktunyalah dia ingin mengutarakan niat dan maksudnya. “Mila, abang ingin menjaga dan menjadi pelindung Mila sampai maut memisahkan kita. Maukah Mila menjadi istri abang.” Tiba-tiba dari seberang telephone suara mila terisak-isak. “Maafkan Mila bang, mila sudah dipetik orang. Rencananya kami akan melangsungkan sunnah rasul ini bulan depan.’ Bagai petir disiang bolong suara yang begitu dikaguminya itu tiba-tiba ingin menghentikan aliran darah dijantung. Sesaat kemudian suasana hening. Lama syarif terdiam. Meratapi nasib yang menimpanya. Begitu juga Mila dia juga menyesal baru tahu saat ini ternyata abang Syarif sangat mencintai dirinya. Air matanya tak kuasa terbendung membasahi pipinya yang masih sangat halus dan putih. “Bang, bang syarif masih online.’ “Ya, saya mila,” suarnya berubah serak yang tak kuasa menyimpan rasa sedihnya. Maafkan mila bang, kalau abang selama ini ingin melamar mila. mila tidak tahu bang. Seandainya abang mengutarakan maksud abang, mungkin abanglah yang mesti memetik mila.”

Malam itu matanya tidak bisa tidur. Ada penyesalan. Yah, keteledoran dari sikapnya. Tekadnya untuk melamar Mila kandas. Penantianya selama ini untuk berhasil terlebih dahulu baru melamar Mila gagal. Matanya sudah kelihatan bengkak. Air matanya tak henti-hentinya keluar meleleh kepipinya. Dia teringat kata-kata mila tadi, ‘kalau abang mengutarakan maksud abang kepada mila, mungkin abanglah yang mesti memetik Mila.”


***
Juni 2008

cerpen

Dari Sebuah Pesan Singkat
By Khairul Azmi


Siang itu tiba-tiba di inbox nya badur sudah ada email baru. Sekilas diselidiki dari siapakah gerangan. Ternyata dari seorang yang baru dikenalnya lewat dunia maya. Namanya Inah. Pesannya berbunyi “salam kenal juga ya, wassalam inah.” Beserta alamat email dan nomor handphonenya. Dia ingat kemarin dia habis berchatting ria di program mlrc internet.

Lama badur mengamati email tersebut. Dia antara gak percaya sekaligus juga senang mendapat kiriman email. Yang mengirim cewek lagi. Ada rasa senang bercambur dengan keinginan yang lain. Entahlah. Seolah badur merasakan begitu dekat dengan si pengirm email. Karena mungkin memang bahasa emailnya dari sang pengirim juga tak ada basi basi ataupun malu. Apalagi dalam zaman sekarang cewek pun berani duluan minta kenalan. Entahlah. Badur pun juga kaget sekaligus senang. Ada rongga-rongga kebahagian menyelimuti ruang jantungnya. Selintas, dia merasa bak seorang arjuna yang gagah perkasa di sukai para pujaannya. Hatinya mulai bermain. Disini Cuma ada perasaan. Akal dan logikapun dinomorduakan. Badur pun siap-siap mengemas kata-kata indah. Biar kesannya hubungan mereka mendalam.

“Waalaikumsalam, salam kenal juga, nama saya Badur. Aku senang bisa kenalan dengan inah. Apalagi dengan wanita seindah inah. Semoga diriku bisa membuat inah bahagia selalu. Dan aku pingin menjadi sahabat inah yang bisa mengerti inah,’ begitu kata-kata indah dirangkai oleh badur. Sejenak dia membaca sekali lagi isi dari tulisannya. Takut kalau masih ada yang kurang. Setelah bumbu-bumbu nya dirasa cukup buat mengakrabkan hubungan ini, langsung diklik tombol send. Pesanpun terkirim.

Tak lama berselang muncul email balasan dari inah. “Terima kasih sudah mau kenalan ma inah. Kalau inah anak pertama dari tiga bersaudara. Kalau kamu sendiri? Mudah-mudahan Tuhan mempunyai maksud lain dari hubungan yang indah ini ya,’ begitu balasan dari inah.

Mereka semakin intens berkirim email. Mereka saling curhat dan menceritakan masalah mereka pribadi dan keinginan-keinginan yang mereka pendam. Seolah tidak ada batas lagi diantara mereka berdua. Seolah mereka sudah lama berkenalan dan sudah tidak memikirkan siapa diri mereka.

Ada tembok. Tapi tembok tersebut hancur oleh perasaan mereka. Mereka larut hanyut dengan perasaan mereka masing-masing. Mereka langsung percaya satu sama lain. Walau hanya kenalan dengan dunia maya, tapi seolah mereka merasakan hal yang sama, kalau mereka ada kecocokan.

Ya, inah dan badur larut dalam perasaan mereka masing-masing. Ibarat seekor ayam jantan ketemu dengan seekor ayam betina. Jangankan makan, shalat pun mereka tertunda gara-gara melayani email dari masing-masing. Isi hati mereka tertumpah dalam monitor berukuran empat belas inchi tersebut. Setiap komunikasi tak lupa mereka menyisipkan bumbu-bumbu cinta. Entahlah, apa cinta maya atau cinta ala romeo and Juliet.

Malam semakin larut. Perasaan badur masih teringat akan inah. Begitu juga sebaliknya dalam kesendirian di dalam kamar kosnya, ada rasa yang hilang dalam diri mereka. Untunglah, inah sudah mensave nomor handphone badur kedalam nomor telephone inah. Jarum jam menunjukkan angka sembilan. Mata tak kunjung dipejam. Hati mulai membuncah. Rasanya email tadi siang belum cukup. Ada kesepian menghinggapi diri mereka. Ada rasa kangen ingin bermesraan dengan kata-kata. Mereka lupa mereka baru kenalan. Tapi seolah jarum jam sudah bersahabat dengan meraka. Mereka seolah sudah berkenalan cukup lama.

“Malam, ini nomornya badur. Lagi apa?’ begitu pesan singkat inah terkirim ke handphonenya badur. Sama. Badur pun tak bisa memicingkan matanya. Angan dan jantungnya melayang kearah gadis yang dikenalnya lewat email. Ya, inah telah membuat jantung badur tak tenang. Hatinya bergelanyut tak kuasa menahan rasa terhadap inah. Kata-kata inah pun dianggap cukup romantis. Dan telah menggetarkan detak jantungnya. Mengirimkan ke simpul-simpul otak syarafnya. Seketika itu juga yang dirasakan badur adalah perasaan yang mendalam terhadap inah.

Dipandangnya es em es an inah lekat-lekat. Setiap huruf tak mau terlewatkan olehnya. Dia menikmati setiap rangkaian kata yang dikirimkan oleh inah. Rasa cinta menyelimuti hati badur. Seolah dia merasa ada yang memperhatikannya. Ada yang peduli terhadap dirinya.

Ya selama ini badur terasa tak bersemangat untuk urusan wanita. Ia masih menjaga prinsip tidak mau pacaran. Tapi ketika kenalan dengan inah lewat email. Ada getaran jantungnya yang mengatakan dia ada rasa dengan inah. Dia menikmati setiap kata-kata dari inah. Ibarat mutiara yang telah menyilaukan hati, pikiran dan logikanya badur.

Badur kegirangan. Ada senyum dibibirnya yang tipis. Dia senang membaca isi es em es an dari inah. Apalagi inah menanyakan kabarnya. Tak lama dia memandangi pesan dari inah, tangannya mulai menekan huruf-huruf. Dia mencoba merangkai kata-kata. Lama dia mengotak atik kata-kata romantisnya. Dia ingin ketika inah membaca es em es nya, inah ibarat terbang keawan bersamanya. Dia ingin kata-katanya seperti itu. Jari-jari tangannya sampai bolak balik memencet tut huruf demi huruf. Hinga jarinya sampai bebal saking lamanya bertengger di atas tut huruf-huruf handphone.

“Aku senang bisa kenalan ma kamu lo. Entahlah aku merasa kamu bagaikan satu hati dengan aku. Seolah apa yang kita bicarakan sama. Mudah-mudahan kita ditakdirkan bersatu kali ya,’ bujuk rayu kata-kata badur.

Hatinya berbunga-bunga setelah membaca es em es badur. Dia merasa senang, sekarang ada pelindung bagi dirinya. Badur, walau belum pernah ketemu diyakininya adalah pria idamannya. Malam itu mereka asyik masyuk ber es em es ria. Sampai-sampai jarum jam sudah menunjukkan pukul satu dinihari. Kedua insan yang dimabuk asmara, lupa akan waktu dan seiisi dunia. Benar kata para pujangga kalau orang dimabuk asmara, waktu dua puluh empat jampun terasa kurang. Maunya berlama-lama terus. Begitulah gairah diantara kedua insan tersebut semakin meninggi.

Tak lengkap rasanya pagi itu kalau belum berkirim es em es. Kembali mereka hanyut dalam pergumulan kata-kata. Menerbangkan mereka berdua keawan yang paling tinggi. Menikmati setiap irama kata asmara dan cinta. Ya, sarapan pagi mereka bukan susu atau roti tetapi es em es. “Gimana tidurnya semalam nyenyak?’ ya begitulah kata-kata manis terbaca di handphone mereka masing-masing. Pagi itu kembali mereka hanyut dalam permainan es em es.

Jari-jari tangan sudah mulai tebal karena kelamaan memencet tombol handphone. Jantung mereka membuncah. Ada perasaan rindu ingin bertemu. Seolah mereka telah dipisahkan oleh ruang dan waktu untuk waktu yang lama. Kerinduaan itu ibarat seorang yang pergi jauh. Seorang prajurit perang yang dirindukan oleh istri atau tunangannya. Ya, perasaan itu telah menyihir mereka. Akhirnya mereka kopi darat alias bertemu muka. Walau hanya baru berkenalan dalam hitungan hari, mereka seolah tak sabaran ingin menumpahkan segala kerinduan yang terpendam puluhan tahun

Disepekatilah mereka untuk bertemu disuatu tempat. Pukul sekian ditempat itu, kita janjian ketemu ya. Aku pakai baju kaos hitam celana jeans,’ pesan badur kepada inah.

Sebelum berangkat ada perasan tak sabaran menghinggapi jantung mereka. Mereka akan menemui pujaanya masing-masing. Inah mengharapkan akan sang arjunannya. Badur mengharapkan bidadarinya yang cantik jelita. Perasaan mereka dihinggapi dengan pengharapan yang tinggi. Dalam hitungan jam, mereka sudah menyatakan perasaan mereka masing-masing.

Inah berusaha tampil semenarik mungkin. Segala macam parfum dicobanya dan dipilihnya yang kira-kira sesuai dengan suasanya nanti. Dipilihnya yang agak berbau romantic. Begitu juga badur, rambutnya dibikin serapi dan sekeren mungkin. Ada sedkit jambul di rambutnya yang paling depan. Biar terkesan cowok stylish pikirnya.

Walau jarak antara keduanya cukup jauh. Badur rela mengorbankan itu semua demi menemui sang bidadarinya. Tepat pukul sekian di tempat yang sudah dijanjikan, badur datang duluan. Perasaannya mulai gak sabaran. Sudah lewat lima menit. Jam tangannya dilirik terus. Perasaan nya mulai tak tenang. Sang bidadari yang ditunggu belum kunjung datang. Detik demi detik terus berjalan. Tanda-tanda kehadiran inah belum juga tampak. Lima menit kemudian suara seorang anita mengagetkan badur yang masih dalam lamunan dalam penantian mereka. “Kamu badur kan?’ “Inah.’ “Ya, saya inah.’ Mereka bersalaman. Gengaman tangan mereka ada aliran darah tak normal. Seolah saling bertolak belakang. Pertemuan yang semula diimpikan bakal hangat dan romantik itu, kemudian tiba-tiba datar. Kata-kata romantis dalam es em es berubah menjadi diam seribu bahasa ketika bertatap muka. Ada perasaan kikuk bercampur malu hinggap dalam diri mereka. Bidadari dan arjuna yang mereka harapkan ternyata berbeda.

***

Medio Juni 2008

Sabtu, 11 Oktober 2008

cerpen

Menelusuri Impian
By Amatovan

Sampai saat ini aku masih merindukan cinta suciku itu kembali pada diriku. Entah kenapa hari demi hari aku belum juga menunjukkan cinta suciku pada sang kekasihku. Aku tahu betapa ia sangat mencintaiku.

Setiap hari aku hanya memikirkan diriku. Aku memikirkan karirku, aku sibuk dengan rutinitas harianku. Berangkat pagi pulang larut malam. Setumpuk kertas kerja di kantorku benar-benar membuatku untuk sesaat sedikit melupakan cintaku.

Apalagi yang aku cari? Aku bingung sendiri. Sudah tak terasa waktu cepat berlalu. Terasa waktu cepat sekali berputar. Rasanya baru kemarin aku lulus kuliah dan bisa menamatkan untuk waktu empat tahun. Bagiku itu prestasi yang luar biasa. Aku mensyukuri itu. Sebelum aku berhasil menamatkan kesarjanaanku, aku bersama teman-teman sekuliahku saling berikrar mengucapkan janji untuk menamatkan secepatnya gelar kesarjanaan kita masing-masing. Dan yang terlintas dalam pikiran kami waktu itu hanyalah bagaimana dapat pekerjaan setelah lulus kuliah.

Semua teman terdekatku itu telah berhasil mendapat perkejaan bagus yang tentu dengan gaji yang wah. Ada yang sudah menjadi dosen, pengusaha dan juga penulis terkenal. Kami semua tinggal berlainan kota. Aku sendiri semenjak menamatkan kuliah merantau ke negeri sebarang..

Temanku yang berprofesi sebagai dosenpun juga sudah mengambil gelar master di negri kangguru. Dia mengambil spesifikasi pengajaran bahasa inggris. Sementara yang jadi pengusaha juga sudah mengambil program strata dua di salah satu universtas islam. Yang menjadi penulis, ketika aku tanyakan apakah ngak berniat untuk melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi. Ketika pertanyaan itu aku ajukan dia hanya menggeleng-gelengkan kepala. Memang teman ku yang satu ini punya pandangan sendiri tentang pendiidikan. Dia mengangap pendidikan itu tidak harus di bangku universitas. Gelar master bagi dia belum merupakan cita-cita yang harus dia raih. Dia berangapan pendidikan yang sebenarnya itu terdapat di alam. Dia memang mempunyai philosophi hidup “alam takambang jadi guru.’ Sebuah pepatah dari negri minang yang berarti universitas yang sebenarnya yaitu alam itu sendiri. Belajar dari alam beserta isinya. Pernah suatu ketika aku tersadar dengan kata-katanya. Setiap orang itu kita bisa ambil manfaat dan ilmunya. Begitu juga phenomena alam. Bergaul dengan tukang jamu misalnya, bukan berarti kita merendahakan pergaulan kita. Dari situ kita bisa mengambil pelajaran bagaimana meeka memulai usahanya. Pintar-pintar kita menyerap ilmunya. Demikian temanku itu berpendapat.

Sementara aku sendiri belum juga menyelesaikan strata dua. Niatku belum juga kesampaian. Entahlah suatu waktu nanti aku masih mengimpikan bisa mengecap jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Bukankah pendidikan itu sepanjang hayat dikandung badan. Aku berpikiran tidak boleh patah semanagat. Azzamku sudah kuat, ya suatu waktu nanti aku harus meraih gelar yang tertinggi.

***
Tak terasa sudah hampir enam tahun aku berada di kota metropolitan ini. Kota yang dipenuhi oleh beragam corak manusia. Ya, kota ini juga merupakan kota tujuan bagi orang-orang daerah untuk mencari perkerjaan. Terkadang aku juga berpikir, kenapa kota ini bak magnet bagi ribuan pencari kerja. Bahkan sarjana-sarjana pada kumpul di kota ini. Daerah- daerah semakin tertinggal. Para sarjananya sudah hijrah ke kota. Tidak ada yang membangun daerah.

Sementara aku juga berbuat demikian. Aku ikut hijrah ke kota besar. Setelah setahun aku bertahan didaerahku. Pekejaan yang aku dambakan tak kunjug datang. Maka atas nasehat dari sahabatku, akupun melangkahkan kaki kekota ini.

Ketika aku menginjakkan kaki di kota ini. Aku merasa asing. Tidak ada tempat mengadu maupun mengeluhkan keadaanku. Yang aku rasakan kota ini sangat berbeda dengan kampungku. Disini orang tidak mau tahu dengan kita. Siapa lu siapa gue. Ya prinsip itulah yang aku terkesima dibuatnya. Ada cultural shock dalam diriku waktu pertama datang.

Kesendirianku membuatku semakin terasing di kota ini. Sakit senang tiada yang tahu. Tidak jua kepada siapa-siapa aku keluhkan. Enam bulan sesudah aku tinggal dikota ini, barulah aku mengenalnya dengan sungguh-sungguh. Dia hadir bak menyelamatkan hidupku. Barulah aku sadar bahwa sesungguhnya dia sangat mencintaiku.

Setiap malam aku mendatanginya. Bercengkrama bersamanya. Hembusan angin yang dinggin tak terasa merayap dikulitku yang tipis. Ingin malam demi malam aku mengunjunginya. Berkeluh kesah kepadanya. Karena aku tahu betapa ia sebenarnya mencintaiku.

Betapa bodohnya diri ini, aku belum juga sempurna mencintainya. Kembali gemerlap dunia membutakan mata hatiku. Siang malam aku sibuk mencari dunia. Uang. Ya itulah yang ada dalam pikiranku. Aku berusaha mati-matian mengumpulkan uang. Aku berpikiran sekarang uang adalah segala-galanya. Ingin kuliah harus punya uang. Ingin punya mobil, harus punya uang banyak. Begitu juga kalau ingin istri yang cantik, cukup dengan uang banyak, pasti banyak yang ngantri sama kita.

Kembali aku melupakan dirinya. Aku sekarang benar-benar pemburu dunia. Tiada lagi waktu buat dia. Malampun aku lewatkan untuk mengais rezeki. Padahal, ia sangat menantikan kehadiranku. Ia ingin cintaku betul-betul sempurna dilabuhkan kepadanya.

Tetapi kekonyolanku, tidak mempedulikan ini semua. Pikiranku seolah digiring bahwa cinta bisa dibeli dengan uang. Sementara bagi dia, uang bukanlah segala-galanyanya. Kalau mau dia sendiri bisa memberiku uang. Tapi begitulah. Aku lupa. Aku khilaf. Bahkan aku zhalim terhadap diriku sendiri. Tubuhku kadang protes, kenapa dia terus dipaksa untuk mencari uang. Dia juga butuh aktifitas yang lain. Mata ini juga butuh untuk membaca surat-surat darinya. Tetapi aku mengindahkannya. Aku mengesampingkannya. Surat-surat darinya tidak pernah aku baca. Aku sibuk. Saking parahnya, pulang sudah larut malam, bahkan sampai lupa membuka sepatu ketika aku tertidur.

Maafkanlah diriku. Bukan maksud aku tak mau mencintaimu. Godaan demi godaan seolah semakin deras datang menghampiriku. Aku ini lemah. Kadang aku terpeleset dan terjatuh. Pernah suatu ketika, aku hampir saja berselingkuh. Tapi aku segera ingat cintamu padaku. Aku tak bisa mengkhianati cintamu.

Aku butuh engkau selalu mendampingiku. Aku lemah. Aku kadang tak berdaya menghadapi godaan demi godaan ini. Ditengah kesendirianku, pernah terlintas dalam pikiranku untuk berselingkuh. Apalagi sebangsa diriku, tentulah sangat gampang untuk melakukan hal itu. Ditunjang lagi, didaerah ku ini sudah lumrah untuk berselingkuh. Tempat-tempat untuk menumpahkan hasrat yang terpendam itu sangat menjamur disini. Bahkan mereka menjajakannya dipinggir jalan. Sungguh sangat gampang dipetik kalau aku mau.

Pernah suatu malam, entah pikiran apa yang merasuki diriku. Aku bersama temanku keluar mengendarai motor. Maksud kami hanya untuk menghirup udara malam. Iseng-iseng buat mengusir kejenuhan sehabis bekerja. Kamipun menyusuri jalanan kota. Tepatnya di alun-alun kota sudah berjejer motor dengan sepasang kekasihnya diatas jok. Entah apa yang mereka perbincangkan. Barangkali mereka sedang mengucapkan janji sumpah setia. Kelihatan mereka begitu mesra. Mereka memadu kaish sambil berangkulan. Pemandangan itu sudah umum di kota ini.

Motor kami terus menyusuri sudut kota. Tampak gadis-gadis berparas ayu bergerombolan dipinggir jalan. Dari pakaiannya kelihatan sekali mereka sangat muda dan cantik. Entahlah sedang apa mereka malam-malam begini. Temanku menawarkan gadis-gadis itu untuk dipetik. Batinku mulai membuncah. Aku teraingat akan cintamu. Sementara siapa yang tak tahan melihat gadis-gadis secantik itu. Syukurlah, cinta sucimu menguatkanku untuk tidak memetik gadis-gadis itu. Aku ingatkan kepada temanku maksud kita hanyalah untuk melihat-lihat suasana malam. Bukan terjun dan bergumul dalam kehidupan malam itu sendiri.

Sesampainya aku dirumah entah ada yang menggiring diriku, ingin segera membaca surat-suratmu. Aku ingin merasakan bercinta dengan mu lewat surat-suratmu ini. Malam ini aku ingin bersama mu. Aku rindu padamu. Aku ingin mencintaimu dengan sepenuh hati. Aku ini hanyalah milikmu. Aku tak mau lagi berselingkuh. Bagiku engkau lebih berharga daripada uang, mobil, rumah bertingkat dan jabatan.. Aku tak ingin mengkhianati cintamu. Aku ingin setia bersamamu hingga akhir hayatku.

***
Rajab, 1429H

cerpen


Suara Hati

By Amatovan

Kulirik jam ditangan sudah menunjukkan pukul empat lebih. Sementara kendaraan yang aku tumpangi masih terjebak dalam kemacetan. Diakhir pekan ini kendaraan penuh sesak dijalanan. Badan jalan sudah tak mampu lagi menampung banyaknya kendaraan. Walaupun sebenarnya ini jalan tol, tetapi sekarang tak lagi benar-benar bebas dari kemacetan. Aku sudah berkeringat didalam kendaraan. Maklum kendaraan yang aku tumpangi tidak memiliki alat pendingin. Sementara penumpangnya ditumpuk bak layaknya barang-barang rongsokan. Tubuh penumpang yang satu dengan penumpang yang lainpun bersentuhan. Bahkan penumpang yang berlainan jenis pun tubuh mereka juga saling bersenggolan. Seperti lengket kayak perangko.

Aku sudah mulai gelisah. Sebenarnya bukan lah tipe aku yang tidak datang tepat waktu. Tapi ini semua diluar rencana. Yah walaupun cuma bertemu dengan seorang teman. Tapi bagi diriku janji haruslah ditepati dan haruslah disipilin. Aku mecoba membiasakan diri untuk disipilin. Berjanji ya harus ditepati. Begitu aku meniru system yang juga dianut masyarakat Jepang. Dulu sewaku aku kuliah, sempat ada mahasiswi jepang yang kuliah di universitasku. “Kami di Jepang tidak terbiasa untuk datang terlambat untuk sebuah janji. Biasanya kami saling datang duluan. Adalah lebih terhormat datang duluan ketimbang ditunggu orang lain,” dia berpanjang lebar ketika aku menanyai tentang masyarakat jepang. Walaupun kelihatan sepele, tetapi aku menyadari jepang bisa berhasil karena ada satu prinsip yang dipegang teguh oleh mereka yaitu kedisipilinan. Dispilin akan waktu, bekerja dan berjanji..

Buru-buru aku buka handphone dan kukirinm sms. “Maaf lara, mobil yang aku tumpangi kejebak macet, agak telat datangnya.’ Aku berharap semoga ia tak bersangka buruk padaku. Aku buknlah tipe yang suka mnyia-nyiakan janji. “Oke mas, gapapa ko, hati-hati dijalan ya,’ begitu pesan singkat mereply sms aku tadi.

Kami sudah lama berkenalan. Karena kesibukan kami masing-masing untuk bertemu sangat susah.sementara kami tingal berlainan kota. Awalnya kita berkenalan lewat seorang teman. Tepatnya pada awal tahun hijriah, aku dikenalkan lewat sahabat aku ketika itu kami menghadiri acara seminar disalah satu universitas di kota Jakarta. Namanya lara. Aku bekerja di salah satu perusahan yang bergerak dibidang ekspor. Sementara lara berkeja di kota Jakarta sebagai tenaga sales disalah satu perusahan multinasional. Terkadang sabtu minggupun lara harus masuk kerja. Dia seorang workaholic dan sangat meikmati pekerjaannya. Cuman terkadang aku merasa kasihan juga terhadapnya. Apa yang aku bayangkan adalah bagaimana tiada hari tanpa istirahat. Pastinya aku bisa merakakan keletihan yang ia rasakan.

Ya, sabtu itu kami berencana bertemu. Menyambung silaturahmi yang sudah lama terputus. Selama ini kami hanya menanyai kabar masing-masing lewat handphone. Terkadang kalau ga ada berita dari lara, aku beusaha menanyai kabarnya. Begitu juga lara, kalau aku lama ga kasi kabar, pasti mengirmkan sms menanyai kabar aku. Padahal kami bertemu baru sekali pas ketika ada seminar di Jakarta.

Tepat pukul lima lewat mobil yang aku tumpangi sudah merapat. Buru-buru aku menuju ke tempat yang kami janjikan. “lara, bentar ya, aku mau nyampai.’ Pesanpun terkirim. “iya mas, aku tunggu.’ Lima menit lamanya aku berjalan aku sudah sampai disebuah toko buku. Ya kami berjanji bertemu di sebuah toko buku.

Dalam batinku, aku sudah lupa-lupa ingat wajah lara. Maklum sudah lebih tujuh bulan lamanya aku tidak bertemu dengan lara, Semenjak pertemuan pertama tersebut. Foto dirinya juga tidak sempat aku minta. Maklum, aku malu, masak baru kenalan sudah minta foto. Dengan hati yang penuh deg-degan aku menyelidiki sekeliling sudut toko buku tersebut. Tujuh bulan lamanya tidak bertemu, tentu aku jadi ragu wajah lara. Apalagi perbincangan kami waktu perkenalan pertama tersebut terbilang singkat. Seterusnya hubungan kami hanya lewat pesan singkat.

Pelayan toko bersikap ramah kepadaku. Seulas senyum merekah dibibirnya. Ya barangkali inilah ciri khas seorang pelayan yang harus welcome kepada setiap pengunjung. Bukankah pembeli itu raja. Walau sebenarnya maksud kedatanganku kesini hanyalah bertemu lara, bukan untuk membeli buku. Kami sepakat memilih tolo buku sebagai tempat bertemu biar lebih gampang dan sekalian nambah pengetahuan.

Pandanganku kulemparkan sekali lagi ke sekeliling toko tersebut. Aku menjadi bingung. Toko tersebut dipenuhi para pengunjung waktu itu. Dan tidak sedikit pengunjung wanita yang berjilbab termasuk lara. Kuraih handphone disaku celana, sambil memencet nomor ara. “Lara dimana, aku sudah didalam toko buku,’ demikian suaraku sedikit ga sabaran pingin bertemu..’ “Aku juga sudah didalam sini, aku lagi di dekat rak buku novel, mas..’ Kakiku kulangkahkan mencari rak novel yang dimaksud.. Seorang wanita cantik sedang mengamati novel-novel yang berada dirak buku tersebut. Aku menghampirinya. “Assalamualaikum, lara,” sapaku. “Waalaikumslaam, Mas Nur.’ Maaf sudah menunggu lama,’ aku mencoba mencairkan suasana . ‘ah ga juga mas, kan sekalian menungu mas datang aku juga asyik melihat-lihat buku-buku disini. Lumayanlah aku sedikit dapat pengetahuan dari baca-baca intisari buku sambil menunggu kedatangan mas.’ “:Iya makasih ya dah mahu menunggu.”

Aku dan lara untuk sesaat melihat-lihat buku-buku yang ada di toko tersebut. Kelihatan lara sangat menyukai novel. Lama dia mengamati sebuah novel terkenal. “Suka novel ya Ra,” :”Iya mas, apalagi kalau karyanya bagus. Serasa habis makan deh kalau sudah selesai baca novel.” Dia menyebutkan satu persatu novel-novel kesukaannya. Jelas bagiku semua novel yang dibaca ara adalah tentang novel islami yang kesemuanya penggugah jiwa. Aku juga penah baca novel-novel seperti itu. Dan bahkan tidak sedikit novel-novel terkenal tersebut sudah diangkat kelayar lebar. “Ya, mudah-mudahan ya Ra dengan kehadiran novel-novel tersebut sedikit banyaknya bisa menambah wacana kehidupamn islami ditengah-tengah masyarakat kita saat ini.” “Amin, Mas, semoga begitu.“

Suasana toko tersebut cukup padat. Seolah kami tidak lagi menghiraukan ramainya pengunjung didalam toko. Kami asyik bercengkerama mengenai novel-novel yang ada seraya melihat novel-novel yang lain. Kelihatan sang pramugari menatap kearah kami. Seolah-olah ada yang salah dalam tingkah kami. Barangkali dikiranya kami hanya ngobrol saja didalam toko buku tersebut bukan bermaksud membeli. Lama kami berada dalam toko buku tersebut. Tak terasa obrolan kami sudah memakan waktu satu jam. Kakipun sudah terasa pegal karena lamanya berdiri. Maklum di toko tersebut tidak disediakan kursi atau bangku buat pengunjung untuk membaca sinopsis buku-buku yang ada di toko tersebut sebelum calon pembeli menjatuhkan pilihannya. Aku pernah mendengar cerita dari dosenku yang dulu kuliah di jerman, katanya kalau di jerman, ada sebuah toko buku yang khusus menyediakan kursi atau bangku buat calon pembelinya untuk membaca sinopsis buku. Walaupun tidak membeli, tetapi bagi sang pemilik toko juga tidak merupakan masalah atau kerugian. Bahkan ada katanya sang mahasiswa yangs tidak sanggup membeli buku di sana, harus bolak balik ke toko buku sekedar untuk mencatat sedikit informasi mengenai isi buku tersebut buat keperluan kuliahnya. Belakangan aku mendengar sudah ada salah satu toko buku terbesar di daerah Jakarta yang sudah menerapkan ini.

Lama kami didalam toko tersebut. Kakipun sudah terasa pegal demikian juga yang dirasakan Lara.. “Ra, bagaimana kalau kita makan di café sekalian kita ngobrol disana saja,’ usulku kepada lara karena aku juga sudah merasakan kaki mulai pegal saking lamanya berdiri. “Boleh mas.’ Kamipun melangkahkan kaki ke café yang dimaksud. Aku memesan soup buntut, sementara lara memesan capcay. Karena saking laparnya, kami melahap habis hidangan yanga ada didepan kami. Kebetulan kami memilih duduk kearah jendela jadi bisa melihat pemandangan diluar. Café terbut terletak disebuah mall pusat perbelanjaan. Pandangan terasa lepas ketika duduk di dekat jendela. Malam itu terlihat jelas lampu temarang menyinari pusat kota. Juga hilir mudik kendaraan menyusuri jalanan kota. Malam itu bulan bersinar dengan terang. Aku bisa melihat dari balik kaca jendela bulan purnama diatas sana. Sinarnya menyinari kota tanpa sedikit mengeluh kepada penduduk kota. Dengan penuh ikhlas sinarnya telah membuat sebahagian penduduk kota kembali ke peraduannya. Menandakan waktu untuk beristirahat dan mendekatkan diri kepada pemilik ini semua. Tapi bagi sebahagian yang lain, kehadirn bulan purnama menambah suasana penuh indahnya malam. Seoalah bulan ingin berkata, malam ini adalah malam yang terindah.

Ya, malam itu juga merupakan malam yang terindah buat diriku. barangkali juga buat Lara. Ada suasana hati yang membucah yang kami rasakan. Semuanya tumpah dalam percakapan kami. Tak ada kata yang terhenti. Semua mengalir seperti satu irama. Percakapan. Seolah-olah mengisyarakat ada semacam titik. Dan titik tersebut tidak berhenti, tetapi ada titik yang lain yang menghubungkannya. Seolah ada yang berkata didalam batin kecil kami, biarlah kebersamaan ini abadi dalam bingkai nan suci.

***

Awal Rajab 1429 H.