Sabtu, 11 Oktober 2008

cerpen


Suara Hati

By Amatovan

Kulirik jam ditangan sudah menunjukkan pukul empat lebih. Sementara kendaraan yang aku tumpangi masih terjebak dalam kemacetan. Diakhir pekan ini kendaraan penuh sesak dijalanan. Badan jalan sudah tak mampu lagi menampung banyaknya kendaraan. Walaupun sebenarnya ini jalan tol, tetapi sekarang tak lagi benar-benar bebas dari kemacetan. Aku sudah berkeringat didalam kendaraan. Maklum kendaraan yang aku tumpangi tidak memiliki alat pendingin. Sementara penumpangnya ditumpuk bak layaknya barang-barang rongsokan. Tubuh penumpang yang satu dengan penumpang yang lainpun bersentuhan. Bahkan penumpang yang berlainan jenis pun tubuh mereka juga saling bersenggolan. Seperti lengket kayak perangko.

Aku sudah mulai gelisah. Sebenarnya bukan lah tipe aku yang tidak datang tepat waktu. Tapi ini semua diluar rencana. Yah walaupun cuma bertemu dengan seorang teman. Tapi bagi diriku janji haruslah ditepati dan haruslah disipilin. Aku mecoba membiasakan diri untuk disipilin. Berjanji ya harus ditepati. Begitu aku meniru system yang juga dianut masyarakat Jepang. Dulu sewaku aku kuliah, sempat ada mahasiswi jepang yang kuliah di universitasku. “Kami di Jepang tidak terbiasa untuk datang terlambat untuk sebuah janji. Biasanya kami saling datang duluan. Adalah lebih terhormat datang duluan ketimbang ditunggu orang lain,” dia berpanjang lebar ketika aku menanyai tentang masyarakat jepang. Walaupun kelihatan sepele, tetapi aku menyadari jepang bisa berhasil karena ada satu prinsip yang dipegang teguh oleh mereka yaitu kedisipilinan. Dispilin akan waktu, bekerja dan berjanji..

Buru-buru aku buka handphone dan kukirinm sms. “Maaf lara, mobil yang aku tumpangi kejebak macet, agak telat datangnya.’ Aku berharap semoga ia tak bersangka buruk padaku. Aku buknlah tipe yang suka mnyia-nyiakan janji. “Oke mas, gapapa ko, hati-hati dijalan ya,’ begitu pesan singkat mereply sms aku tadi.

Kami sudah lama berkenalan. Karena kesibukan kami masing-masing untuk bertemu sangat susah.sementara kami tingal berlainan kota. Awalnya kita berkenalan lewat seorang teman. Tepatnya pada awal tahun hijriah, aku dikenalkan lewat sahabat aku ketika itu kami menghadiri acara seminar disalah satu universitas di kota Jakarta. Namanya lara. Aku bekerja di salah satu perusahan yang bergerak dibidang ekspor. Sementara lara berkeja di kota Jakarta sebagai tenaga sales disalah satu perusahan multinasional. Terkadang sabtu minggupun lara harus masuk kerja. Dia seorang workaholic dan sangat meikmati pekerjaannya. Cuman terkadang aku merasa kasihan juga terhadapnya. Apa yang aku bayangkan adalah bagaimana tiada hari tanpa istirahat. Pastinya aku bisa merakakan keletihan yang ia rasakan.

Ya, sabtu itu kami berencana bertemu. Menyambung silaturahmi yang sudah lama terputus. Selama ini kami hanya menanyai kabar masing-masing lewat handphone. Terkadang kalau ga ada berita dari lara, aku beusaha menanyai kabarnya. Begitu juga lara, kalau aku lama ga kasi kabar, pasti mengirmkan sms menanyai kabar aku. Padahal kami bertemu baru sekali pas ketika ada seminar di Jakarta.

Tepat pukul lima lewat mobil yang aku tumpangi sudah merapat. Buru-buru aku menuju ke tempat yang kami janjikan. “lara, bentar ya, aku mau nyampai.’ Pesanpun terkirim. “iya mas, aku tunggu.’ Lima menit lamanya aku berjalan aku sudah sampai disebuah toko buku. Ya kami berjanji bertemu di sebuah toko buku.

Dalam batinku, aku sudah lupa-lupa ingat wajah lara. Maklum sudah lebih tujuh bulan lamanya aku tidak bertemu dengan lara, Semenjak pertemuan pertama tersebut. Foto dirinya juga tidak sempat aku minta. Maklum, aku malu, masak baru kenalan sudah minta foto. Dengan hati yang penuh deg-degan aku menyelidiki sekeliling sudut toko buku tersebut. Tujuh bulan lamanya tidak bertemu, tentu aku jadi ragu wajah lara. Apalagi perbincangan kami waktu perkenalan pertama tersebut terbilang singkat. Seterusnya hubungan kami hanya lewat pesan singkat.

Pelayan toko bersikap ramah kepadaku. Seulas senyum merekah dibibirnya. Ya barangkali inilah ciri khas seorang pelayan yang harus welcome kepada setiap pengunjung. Bukankah pembeli itu raja. Walau sebenarnya maksud kedatanganku kesini hanyalah bertemu lara, bukan untuk membeli buku. Kami sepakat memilih tolo buku sebagai tempat bertemu biar lebih gampang dan sekalian nambah pengetahuan.

Pandanganku kulemparkan sekali lagi ke sekeliling toko tersebut. Aku menjadi bingung. Toko tersebut dipenuhi para pengunjung waktu itu. Dan tidak sedikit pengunjung wanita yang berjilbab termasuk lara. Kuraih handphone disaku celana, sambil memencet nomor ara. “Lara dimana, aku sudah didalam toko buku,’ demikian suaraku sedikit ga sabaran pingin bertemu..’ “Aku juga sudah didalam sini, aku lagi di dekat rak buku novel, mas..’ Kakiku kulangkahkan mencari rak novel yang dimaksud.. Seorang wanita cantik sedang mengamati novel-novel yang berada dirak buku tersebut. Aku menghampirinya. “Assalamualaikum, lara,” sapaku. “Waalaikumslaam, Mas Nur.’ Maaf sudah menunggu lama,’ aku mencoba mencairkan suasana . ‘ah ga juga mas, kan sekalian menungu mas datang aku juga asyik melihat-lihat buku-buku disini. Lumayanlah aku sedikit dapat pengetahuan dari baca-baca intisari buku sambil menunggu kedatangan mas.’ “:Iya makasih ya dah mahu menunggu.”

Aku dan lara untuk sesaat melihat-lihat buku-buku yang ada di toko tersebut. Kelihatan lara sangat menyukai novel. Lama dia mengamati sebuah novel terkenal. “Suka novel ya Ra,” :”Iya mas, apalagi kalau karyanya bagus. Serasa habis makan deh kalau sudah selesai baca novel.” Dia menyebutkan satu persatu novel-novel kesukaannya. Jelas bagiku semua novel yang dibaca ara adalah tentang novel islami yang kesemuanya penggugah jiwa. Aku juga penah baca novel-novel seperti itu. Dan bahkan tidak sedikit novel-novel terkenal tersebut sudah diangkat kelayar lebar. “Ya, mudah-mudahan ya Ra dengan kehadiran novel-novel tersebut sedikit banyaknya bisa menambah wacana kehidupamn islami ditengah-tengah masyarakat kita saat ini.” “Amin, Mas, semoga begitu.“

Suasana toko tersebut cukup padat. Seolah kami tidak lagi menghiraukan ramainya pengunjung didalam toko. Kami asyik bercengkerama mengenai novel-novel yang ada seraya melihat novel-novel yang lain. Kelihatan sang pramugari menatap kearah kami. Seolah-olah ada yang salah dalam tingkah kami. Barangkali dikiranya kami hanya ngobrol saja didalam toko buku tersebut bukan bermaksud membeli. Lama kami berada dalam toko buku tersebut. Tak terasa obrolan kami sudah memakan waktu satu jam. Kakipun sudah terasa pegal karena lamanya berdiri. Maklum di toko tersebut tidak disediakan kursi atau bangku buat pengunjung untuk membaca sinopsis buku-buku yang ada di toko tersebut sebelum calon pembeli menjatuhkan pilihannya. Aku pernah mendengar cerita dari dosenku yang dulu kuliah di jerman, katanya kalau di jerman, ada sebuah toko buku yang khusus menyediakan kursi atau bangku buat calon pembelinya untuk membaca sinopsis buku. Walaupun tidak membeli, tetapi bagi sang pemilik toko juga tidak merupakan masalah atau kerugian. Bahkan ada katanya sang mahasiswa yangs tidak sanggup membeli buku di sana, harus bolak balik ke toko buku sekedar untuk mencatat sedikit informasi mengenai isi buku tersebut buat keperluan kuliahnya. Belakangan aku mendengar sudah ada salah satu toko buku terbesar di daerah Jakarta yang sudah menerapkan ini.

Lama kami didalam toko tersebut. Kakipun sudah terasa pegal demikian juga yang dirasakan Lara.. “Ra, bagaimana kalau kita makan di café sekalian kita ngobrol disana saja,’ usulku kepada lara karena aku juga sudah merasakan kaki mulai pegal saking lamanya berdiri. “Boleh mas.’ Kamipun melangkahkan kaki ke café yang dimaksud. Aku memesan soup buntut, sementara lara memesan capcay. Karena saking laparnya, kami melahap habis hidangan yanga ada didepan kami. Kebetulan kami memilih duduk kearah jendela jadi bisa melihat pemandangan diluar. Café terbut terletak disebuah mall pusat perbelanjaan. Pandangan terasa lepas ketika duduk di dekat jendela. Malam itu terlihat jelas lampu temarang menyinari pusat kota. Juga hilir mudik kendaraan menyusuri jalanan kota. Malam itu bulan bersinar dengan terang. Aku bisa melihat dari balik kaca jendela bulan purnama diatas sana. Sinarnya menyinari kota tanpa sedikit mengeluh kepada penduduk kota. Dengan penuh ikhlas sinarnya telah membuat sebahagian penduduk kota kembali ke peraduannya. Menandakan waktu untuk beristirahat dan mendekatkan diri kepada pemilik ini semua. Tapi bagi sebahagian yang lain, kehadirn bulan purnama menambah suasana penuh indahnya malam. Seoalah bulan ingin berkata, malam ini adalah malam yang terindah.

Ya, malam itu juga merupakan malam yang terindah buat diriku. barangkali juga buat Lara. Ada suasana hati yang membucah yang kami rasakan. Semuanya tumpah dalam percakapan kami. Tak ada kata yang terhenti. Semua mengalir seperti satu irama. Percakapan. Seolah-olah mengisyarakat ada semacam titik. Dan titik tersebut tidak berhenti, tetapi ada titik yang lain yang menghubungkannya. Seolah ada yang berkata didalam batin kecil kami, biarlah kebersamaan ini abadi dalam bingkai nan suci.

***

Awal Rajab 1429 H.

Tidak ada komentar: